Budaya / SeniEsai

Elegi Cinta Narudin dan Shadowless Sword

NusantaraNews.co – Tulisan Sofyan RH. Zaid ini merupakan komentarnya pada status facebook Malkan Junaidi yang dibuat pada 21 September pukul 13:21 WIB:

Narudin, kau minta aku merenungkan puisimu berikut. Oke, aku merenungkannya. Tapi maafkan, makin kurenungkan kok makin terlihat ketidakberesannya ya.

Sebelumnya perlu kusampaikan, aku senang puisi ini hanya terdiri dari 4 kalimat, yang masing-masing kaubentuk menjadi 1 bait. Gampang menganalisisnya.

ELEGI CINTA

Jika kata-kataku telah tak kuasa
mewakili pedih cintaku padamu,
aku akan menjadi matahari saja,
menerangi hari demi harimu.

Jika matahariku harus tenggelam kala senja,
aku akan menjadi sebatang lilin saja,
menerangimu dan menatapmu selalu
di dalam kamarmu, kala teratur napasmu.

Jika lilinku padam oleh angin jendela,
akan menjadi seekor burung aku,
melampaui angkasa raya dalam gulita,
merintih-rintih memanggil namamu.

Jika burungku tersambar petir malam,
akan musnah tubuhku remuk redam,
tapi, di antara gugus gemintang,
debu tubuhku menjeritkan dirimu dengan lantang!

Puisi yang ketermuatannya di Indo Pos pada 7 Juni 2015 kau tekankan ini mengingatkanku pada pantun berkait, hanya saja bagian yang diulang tidak konsisten, seharusnya baris kedua semua, tapi ada yang baris ketiga. Tak apalah. Lagian tentu kau tak bermaksud menulis puisi-pantun. Pantun buatmu adalah sesuatu yang kurang baik, ciri keterbelakangan. Bukan begitu? Kau mengatakannya di esaimu, Perkembangan Puisi Kontemporer Indonesia: Amir Hamzah, dapat dikatakan “berselera ke depan”, memiliki kehendak baik, ingin beranjak dari gaya pantun dan gaya syair—ciri-ciri yang mudah dikenali sebagai warisan dari Pujangga Lama.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Lantas tidak beresnya di mana?

Yang paling menonjol adalah logika kalimat.
Entahlah, mungkin kau terbawa pronomina posesif di baris pertama, sehingga baris kelima, kesembilan, dan ketiga belas pun kaubikin serupa, padahal kasusnya beda. “Kata-kataku” pada bait pertama jelas merupakan bagian dari dirimu, Din, tapi tidak dengan “matahari”, “lilin”, dan “burung” di tiga bait selanjutnya. Ketiganya adalah dirimu yang lain.

Kau sendiri yang bilang “menjadi matahari”, “menjadi sebatang lilin”, dan “menjadi seekor burung”. Nah, jika kau sudah menjadi matahari, masak kau menganggap matahari sebagai bagian dari dirimu, dengan bilang “matahariku”. Semestinya kau menulisnya tanpa pronomina posesif: “Jika matahari harus tenggelam kala senja,”; “Jika lilin padam oleh angin jendela,”; dan “Jika burung tersambar petir malam,”. Paling pol, kaugunakanlah pronomina demonstratif “itu”, macam definite article “the” dalam bahasa Inggris. Pemberlakuan pronomina posesif untuk ketiga nomina di atas berakibat fatal. Logika kalimat menjadi kacau, membuat sebagian pembaca mengasosiasikan “burungku” dengan alat kelaminmu. Kau bilang itu kedunguan, tapi memang sebetulnya kalimatmu yang tidak konsisten. Coba kau periksa baris terakhir, masak setelah bilang “burungku” lantas bilang “debu tubuhku”. Yang tersambar petir itu tubuhmu secara keseluruhan ataukah cuma burungmu?

Lalu kau bilang soal epic metaphor. Ya aku ngerasanya aneh aja. Dari matahari ke lilin masih nyambung. Keduanya ditautkan oleh kepemilikan cahaya. Tapi dari lilin ke burung itu hubungannya gimana ya… Eta terangkanlah.)

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Kemudian pada tanggal yang sama pukul 14:31 WIB, Sofyan menuliskan komentarnya:

Elegi Cinta Narudin dan Shadowless Sword

Sepintas puisi Elegi Cinta karya Narudin ini menarik, indah, dan dahsyat. Namun bila dibaca secara serius, puisi ini -bahkan- gagal pada level struktur tubuhnya. Ulasan Malkan Junaidi di atas sudah menunjukkan dan membuktikan kegagalan tersebut secara sah dan meyakinkan.

Siapapun -tanpa harus mengerti ilmu linguistik dan filsafat- bisa mengetahui kesalahan fatal puisi ini. Bertolak dari Eliot, puisi itu paling tidak bisa “dinikmati” sebelum bisa “dimengerti”. Kita bisa menikmati sebuah puisi bila struktur tubuhnya beres lebih dulu. Sementara untuk bisa mengerti adalah urusan lain lagi. Ibaratnya, untuk menikmati keindahan wajah seorang gadis, kita tak perlu tahu nama, dan anak siapa bukan?

Menulis puisi sejenis ini sebenarnya gampang susah. Banyak sekali puisi seperti ini ditulis para penyair. Di mana puisinya digarap dari tahap ke tahap, dari “menjelma menjadi” ke “menjelma menjadi” lainnya. Puisi seolah-olah tidak butuh logika, bisa ditulis sealirnya perasaan saja. Namun sesungguhnya tetap harus ada logika yang disebut inner logic. Penyair yang menulis puisi seperti ini harus mencipta puisinya berdasarkan pertalian “logika dalam” yang kuat, atau benang merahnya tidak putus.

Kaitan kata kunci dalam puisi Elegi Cinta ini -yang kemudian menjadi simbol- hanya berakhir pada “lilin” setelah dari “matahari”, selebihnya putus. Kita masih bisa menjelaskan hubungan antara matahari dan lilin, meski itu adalah hubungan yang dipaksakan. Padahal dari matahari, masih ada bulan yang bisa dipilih sebagai simbol, baru kemudian lilin. Namun apa hubungan antara lilin dan burung? Selain bukan kata yang senyawa, keduanya juga punya waktu yang berbeda. Lilin identik dengan malam, burung identik dengan siang.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Lalu bagaimana cara mengaitkannya kembali? Setelah lilin padam, masih ada kunang-kunang. Jika kunang-kunang mati -misanya disambar petir- barulah menjadi gelap. Gelap yang meratap. Jadi benang merahnya adalah cahaya.

Berikut saya contohkan -bukan puisi- sebuah isi pidato seorang jenderal dalam film Shadowlees Sword (2005). Kutipan ini akan menunjukkan perbedaan tahapan antara “menjelma menjadi” dengan “menjadi” dan kaitannya dengan pertalian logika yang paling sederhana. Kira-kira seperti ini:

“jika mereka rampas kemerdekaan kita
kita akan terus melawan dan bertarung sampai akhir.
jika pedang kita patah, kita bertempur dengan tangan kosong.
jika kita lelah dan tertangkap, tajam mata kita akan menikam mereka
Jika mata kita dicungkil, kita akan serukan dosa-dosa mereka pada surga.
kita serukan bahwa mereka tidak bisa merebut kemerdekaan kita!

Kutipan ini apa benang merahnya? Semangat! Semangat bertahan dan melawan. Semangat untuk melawan dan mempertahankan kemerdekaan. Kutipan ini sengaja dicontohkan bukan hanya untuk menunjukkan tahapan logis sebuah kejadian. Namun juga untuk menggambarkan Narudin Pituin itu sendiri.

Dengan demikian, tulisan ini pun akan sia-sia. (Red02)

Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 19