NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) membuka rilis Majalah Forbes akhir November 2017. Diketahui, kekayaan 50 orang terkaya Indonesia tahun 2017 mencapai US$ 126 miliar, atau setara Rp 1.6888,4 triliun (asumsi Rp13.400 per US$), atau lebih dari separuh total belanja negara pada APBN tahun 2017 yang tercatat Rp2.080,5 triliun.
Menurut Ketua II Bidang Ekonomi DPN ISRI Robby Alexander Sirait, yang menarik adalah angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 diperkirakan hanya 5,2%, sementara angka pertumbuhan aset 50 orang terkaya Indonesia tersebut tumbuh, dari US$ 99 miliar pada 2016 menjadi US$ 126 miliar atau melonjak 27,2%.
“Ini berarti pertumbuhan 5% itu sebagian besar lari ke atas, yang pertanda bahwa iklim kesenjangan sosial pun akan semakin merenggang,” cetus Robby FGD pada program UKP MENDENGAR yang bertema “Pusat Studi Pancasila & Kajian Ekonomi Pancasila”, Jakarta – Rabu, 27 Desember 2017.
Perekonomian Indonesia tahun 2016, kata dia, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar hampir 60%. Persoalan klasik yang terus terjadi hingga saat ini, ekonomi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan tidak ada pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah.
“Ketidakmerataan ini merupakan bukti yang sahih bahwa pengelolaan ekonomi kita saat ini masih sangat jauh dari cita-cita ekonomi Pancasila,” ujar Robby
Analis APBN ini mengatakan, ketidakmerataan pembangunan antar wilayah yang diukur dengan indeks Williamson juga menunjukkan bahwa lebarnya ketidakmerataan pembangunan ekonomi antar propinsi di Indonesia. Pada tahun 2014 indeks Williamson antar provinsi sebesar 0,73, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan capaian di tahun 2005 yang sebesar 0,78.
“Kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut tidak bisa dilepaskan dari kesenjangan human capital antar daerah, khususnya antar barat Indonesia dengan timur Indonesia. Indeks pembangunan manusia (IPM) provinsi-provinsi di timur Indonesia seperti Papua, Papaua Barat, NTT, NTB, Maluku dan Maluku Utara jauh tertinggal dibandingkan provinsi di wilayah barat,” kata dia.
Labih lanjut ia mengatakan, masih terjadinya kesenjangan faktor input pembentuk atau determinan kualitas human capital, yang salah satunya dapat dilihat dari ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan.
“Per tahun 2014, penduduk diwilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dalam mengakses puskesmas (sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama) membutuhkan jarak rata-rata ke 366,68 km (puskesmas density). Berbeda jauh dengan penduduk di Pulau Jawa yang hanya 34,12 km,” papar dia.
“Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada perbedaan aksebilitas ke fasilitas pendidikan. Seorang siswa SMP di pulau Jawa & Bali hanya membutuhkan jarak rata-rata ke sekolah 6,13 km dan SMA hanya 15,63 km. Sedangkan, siswa di regional Nusa Tenggara, Maluku dan Papua membutuhkan jarak 183,6 km dan 452,15 km,” imbuhnya.
Berbagai fakta yang menunjukkan kemiskinan yang masih parah dan kesenjangan atau ketimpangan yang masih lebar baik dari sisi ketimpangan ekonomi individu, ketimpangan ekonomi wilayah, ketimpangan kualitas modal manusia hinga ketimpangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan merupakan sebagian indikator-indikator yang menunjukkan bahwa pengelolaan ekonomi saat ini tidak mampu atau gagal mewujudkan cita-cita nasional dan masih jauh dari nilai-nilai Pancasila.
“Kondisi ini tidak bisa dilepaskan pada pilihan pengelolaan ekonomi (baik dari sisi aturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah maupun politik anggaran) yang masih menitikberatkan pada bekerjanya mekanisme pasar dan meminimalisir campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi nasional,” jelas Robby.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman