KolomOpiniPolitik

Efektifitas Pengawasan Pemilihan Umum

Demokrasi Indonesia/Ilustrasi NUSANTARAnews
Demokrasi Indonesia/Ilustrasi NUSANTARAnews

Oleh: Muhammad Darwis*

NUSANTARANEWS.CO – Praktik demokrasi di Indonesia telah berjalan dinamis. Terhitung sejak di masa lalu hingga hari ini telah menampilkan beragam dinamika perkembangan yang makin baik. Reputasi demokrasi mesti dijaga dan disempurnakan dalam pelaksanaannya. Untuk mencapai idealitas demokrasi membutuhkan tenaga dan pikiran yang harganya tidak murah.

Dalam setiap masa, demokrasi Indonesia seringkali menampilkan sisi hitam sesuai dengan tantangan dan perkembangan dinamika sosial politiknya. Walau sejurus sistem, objek dan subjek demokrasinya kian matang, tampilan negatif sisi lain dari demokrasi terus bermunculan. Hal yang demikian ini adalah wajar, lumrah terjadi pada setiap aspek sosial masyarakat terlebih dalam sosial politik. Mengingat keberagaman individual, budaya, dan tipologi lainya baik privat dan kelompok yang berbeda-beda tujuan dan kadar intelektualnya.

Baca Juga:

Sisi gelap demokrasi semakin sering dibicarakan baik pra maupun pasca perhelatan kontestasi politik. Namun indeks demokrasi Indonesia bukan berarti mundur tetapi justru semakin menunjukkan grafik yang mapan. Artinya demokrasi Indonesia sedang tumbuh membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu yang bersih partisipatif dan pengawasan yang kuat dari lapisan masyarakat. Pemilihan umum secara global telah dipraktikkan oleh banyak Negara di dunia, baik yang telah maju tingkat demokrasinya maupun yang sedang dalam proses transisi menuju demokrasi.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Penyampaian Nota Ranperda APBD Tahun 2025

Esensi Substansial Pemilihan Umum

Tingginya kemampuan demokrasi Indonesia berkembang dapat ditelaah dari tegasnya payung hukum tentang pemilihan umum, jumlah partisipasi masyarakat dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, dan tingginya kerja partai politik dan organisasi lainnya dalam mengawal demokrasi itu sendiri. Sebagaimana amanah Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” dan Pasal 22 ayat (1) yang mengklasifikasi kriteria pemilu demokratis yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, ditambahkan lagi oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan akuntabel dan transparan.

Sejatinya pemilu adalah usaha untuk mencapai tujuan demokrasi yaitu sarana menjaring pemimpin sesuai kehendak rakyat dan amanah dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Dalam hemat penulis, berbagai macam praktik kekurangan yang terjadi sama sekali tidak mengurangi esensi substansial demokrasi. Karena sejatinya niat dan usaha untuk mencapai esensi dan substansi dari pemilihan umum tetap menjadi usaha yang terjaga untuk diwujudkan, maka dibutuhkan atensi pengawasan pemilu yang efektif dan masif.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Bilamana dalam praktiknya masih terdapat banyak kekurangan tentu tidak dapat diklaim sepihak sebagai kemunduran demokrasi. Hal demikian justru dapat dipandang sebagai sekolah dan praktik pendidikan politik bagi masyarakat agar di kemudian hari menjadi dewasa dalam penyikapi dan menangkal tindakan yang melenceng dari esensi dan substansi pemilu yang dilakukan oleh oknum-oknum partai politik maupun partisipan lainnya.

Bawaslu dan Pengawasan Partisipatif

Potensi pelanggaran dalam pemilu masih sangat besar tidak hanya di Indonesia tetapi telah lumrah terjadi bahkan di Negara maju lainnya. Tidak heran bila masih terjadi praktik politik uang, kampanye hitam  dan pemilu yang menghilangkan hak pilih masyarakat. Urgensi pengawasan baik secara struktural dan fungsional dari seluruh elemen dapat meminimalisir kekurangan yang ada. Tingginya biaya politik bila tidak terawasi secara masif juga dapat berpotensi menjadi satu konflik yang berkepanjangan. Akhirnya pemilu yang sejatinya adalah desain pendidikan demokrasi bagi masyarakat dapat berubah menjadi konflik kepentingan politik yang tidak sehat. Terlebih dalam beberapa momentum pemilu regional beberapa waktu lalu, isu suku, agama, ras dan antargolongan menjadi mesin kampanye mengkerdilkan lawan politik.

Baca Juga:  Jelang Debat Perdana Pilgub Jatim, Risma-Gus Hans Pede Tampil Prima

Demi terlaksananya wujud esensisial demokrasi, pemilu harusnya berjalan tidak hanya sebagai momen politik prosedural namun mestinya berhasil secara substansial memberi manfaat yang baik bangsa dan Negara. Peran aktif dan konstruktif semua unsur Negara dalam mengawasi pemilu dapat memutus sisi buruk akibat dari tindakan melenceng elit pemilu. Badan Pengawas Pemilu telah diberi wewenang sangat besar oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sesuai pasal 461 ayat (1) dimana Bawaslu hingga tingkat kota/kabupaten dapat menerima, memeriksa, mengkaji dan memutuskan pelanggaran administratif pemilu. Peran ini setidaknya dapat dimanfaatkan untuk memutus perkara menuju pemilu yang integratif dan berkemajuan. Pengawasan ini dimaksudkan sebagai bagian dari tahapan pencegahan pelanggaran pemilu secara optimal.

Fakta bahwa dominasi kader-kader partai yang mengandalkan popularitas dan finansial yang tidak didukung kapasitas dan kapabilitas menjadi tantangan pengawasan bagi Bawaslu. Ditopang pula oleh keberlangsungan kaderiasi partai yang cenderung mengindikasikan terjadinya pelanggaran. Sehingga Bawaslu perlu pengawasan partisipatif dari masyarakat dari pada menunggu hasil akhir pemilu. Pengawasan akan optimal jika sinergitas Bawaslu dan masyarakat terjalin dan dapat bekerja secara terbuka, imparsial dan professional.

 

*Penulis, Aktif sebagai Pemerhati Pemilu dan Demokrasi, dapat disapa lewat Facebook Area Darwis

Related Posts

1 of 3,168