Puisi Fatah Anshori
Dusun Kecil Untukmu
Dusun ini bukanlah ladang yang dengan pasrah
bisa kau tanami apa saja, termasuk luka
dan sejarah kehilangan yang tak sempat dituliskan.
Dan enggan untuk mengeringkan dirinya.
Ia tidak seperti dirimu singgah sebentar dan
pergi sesukanya karena alasan bosan. Ia memilih
menetap menjadi tempat duduk di sebuah taman tanpa
pernah memikirkan pergi barang sejenak.
Ia hanya ingin menjadi saksi, dimana semua silih berganti
datang dan pergi, meski musim tak lagi punya hati,
meski orang-orangnya lebih banyak memaki. Menunjukkan
kesakitan-kesakitan yang tak pernah dapat di obati.
Ialah diriku yang sebisa mungkin menjadi dusun kecil
yang rela membaringkan tubuhnya dimana dirimu berdiri
dan rebah hanya untuk alasan lelah.
Lamongan, 2017
Baca juga:
Urusan Perut dan Gempa Waktu
Main Ayunan dan Bunga Krisan
Produk yang Kamu Ciptakan dan Wariskan
Bermain Petak Umpet
Sabtu pagi adalah keringat yang mengering di baju olahraga.
Kau mungkin agak jijik dengan aroma tengik
itu. Tapi baju itu adalah perasaan sekaligus saksi
betapa cinta, adalah perkara rumit yang membuat
banyak orang salah tingkah. Menahan rasa sakit
untuk kemudian di pukulkan sekeras-kerasnya jika
kesempatan datang tanpa aba-aba. Seperti pagi ini,
pohon bamboo yang menjadi tiang jemuran,
akhirnya roboh.
Laki-laki dan perempuan yang sudah bertahun-tahun tinggal
serumah. Hampir saling pukul dan saling tikam.
menyalahkan satu sama lain. Padahal tidak ada
yang salah kecuali kesalahan itu sendiri.
Aku ceritakan ini padamu karena aku tidak mau, kelak
kita serupa ini, bertengkar tentang gelas pecah, air yang
tumpah, nasi yang kurang matang, atau bau keringat di baju
yang merusak kamar kita. Aku ingin kita selalu anak
kecil yang main petak umpet di bawah selimut, di sela-
sela kolong meja, diantara daftar belanja yang berlebihan
atau di rumitnya berita utama koran pagi.
Lalu ketika kita saling tatap dan menemukan satu sama
lain. Kita baru sadar, ada kerutan di wajah kita. Juga warna
putih telah mengambil alih warna hitam rambut kita.
Lamongan, 2017
Mengharapkan Langit Runtuh
Ternyata kau adalah langit, sebagaimana Tuhan sering
bilang pada umatnya.
“Ia tak membutuhkan tiang, apalagi penyangga.”
Maka aku pura-pura bodoh, dan menutup telinga
meski sedikit dilaknat tidak apa-apa. Toh pada akhirnya
aku tetap sebatang pohon yang akan lenyap pula. Jika tidak
jadi perkakas dan barang-barang yang menyesaki ruang
tamu orang-orang kota. Paling sial aku hanya akan menjadi arang.
Jika kebakaran itu datang menghajarku yang tidak bisa kemana-mana.
Selain berdiri pasrah dan bersikap bodoh.
Sebab aku masih pinus yang menumbuhkan tubuh,
sambil mendongak ke atas. Berharap kelak
langit akan runtuh dan menghambur padaku
untuk kemudian memintaku menjadi tiang penyangga.
Itulah harapan kecilku,
yang pada akhirnya menemui kata mustahil.
Lamongan, 2017
Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di media-media online.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]