Duka Anak Karaeng
Kekasihku yang jauh di seberang pulau
Berlayar, katamu: Demi masa depan kita sayang
Mereka yang datang bagai kumbang
membawa cintanya kepadaku
Membuatku cemas bila kau selalu
mengulur-ulur waktu, kekasihku
Tapi, demi kau mereka kutampik berkali-kali
Aku masih setia menunggu bagai sekoci sepi
Aku menantimu mendayung
Perjalanan usia kita menuju semenanjung,
entah meski gelombang pasang,
meski angim ribut,
menendang-nendang dadaku
Tapi, kasih bagaimana aku pertahankan kau
jika sewaktu-waktu hatiku goyah,
oleh gelombang itu jua?
Ajarkan bagaimana aku menjadi
karang, yang tak rubuh dipukul ombak
Tahulah engkau kekasihku,
hati orang tuaku tak setegar cintaku padamu
Lantaran mereka telah memilihkan aku,
dengan laki-laki berdarah karaeng
Ini bukan zaman Siti Nurbaya,
tentu perempuan manapun sungguh tak mau
Sebab menunggumu adalah ketakpastian
yang menyenangkan
Dalam cinta tak ada yang boleh dipaksa,
sekalipun dengan nama baik keluarga
Tapi, maafkan kasih, ini bukan cerita sedih
Di waktu yang sama hatiku telah goyah,
di bawah kehendak orang tua
Pada selainmu aku menikah
(Baca: Aku, Sedadu Menunggu Giliran, Di Hadapan Maut – Puisi Tjahjono Widarmanto*)
Yogyakarta kukenang
Yogyakarta
Kota istimewa yang kaya dengan cerita
Kota di mana kau dan aku dipertemukan
namun, tak dipersatukan
Di kota ini kusimpan kenangan indah bersamamu
kita berakhir dengan luka
Kenangan yang tak mungkin bisa kulupa
Masih ingatkah sewaktu kita mengikat janji
di alun-alun selatan?
“kaulah puspita yang teristimewa
dan kupinang kau di bulan menjelang,” ucapmu
Betapa susah menutup mata dan menyeka
sisa-sisa kesedihan yang membatu di pipi
Saat kutau kata-katamu lebih dusta
dari yang bisa kuterka
Setega itukah kau tinggalkanku
dan berpaling pada yang lain
Lantas bagaimana aku mengobati rasa sakitku ini?
Dengan cara apa hendaknya aku melupakanmu?
Sebab kau adalah kenangan
Bulukumba, 15-03-2016
(Baca juga: Tentang si Bisu dan Bunga Tidur – Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe*)
Sehelai Daun
Malaikat izrail datang dibalik tirai
Membawa sehelai daun berukirkan namamu
Apa yang harus kau lakukan?
tak ada tempat bersembunyi
Kau bergetar karena dia perlahan mendekat
“mau ke mana kau?” tanyanya
Sudahlah ini adalah giliranmu,
karena setiap mahluk yang berjiwa merasakan mati
Keluarnya ruh dari tubuh
membenarkan bahwa kau telah tiada
Suara isak yang terdengar
bahkan ada yang meraung-raung
Dulu kau bebas mondar-mandir
Sekarang hanya bayangan tak terlihat
Bahkan dahulu merampas harta anak yatim,
sering menunda-nunda salat
Kini hanya sesal lalu menunggu cambuk
dari para malaikat
Atau masih adakah pertolongan untukmu?
Bulukumba 08-04-16
(Lihat juga: Memedi Way Lima dan Labuhan Maringgai – Puisi Budi Hatees)
*Nurwahidah Saleh, kelahiran Bulukumba kindang ini alumnus Ama Yogyakarta. Ia menulis puisi, cerpen dan novel. Salah satu karyanya dimuat di Majalah Nusantara dan Media Online pewartanews. Antologi puisi puisinya “Tunggu Aku Mengucap Cinta”. Selain itu puisinya juga pernah dibacakan di Radio Cempaka Asri 102,50fm Bulukumba. Kini ia menjadi terapis di sebuah klinik di di Butta Panrita Lopi dan juga aktif di Sekolah Sastra Bulukumba (SSB).
_______________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected].