NUSANTARANEWS.CO – Dua problem besar dalam mengimplementasikan Pancasila. Realitas praktek demokrasi Indonesia hari ini, telah mendorong kita untuk berkotemplasi, melihat kembali seberapa banyak kekayaan literasi kita yang dapat dijadikan rujukan untuk mendiskusikan tentang Sistem Demokrasi Pancasila.
Gagasan dan pemikiran sistem demokrasi Pancasila boleh dibilang sudah hidup di tengah masyarakat kita jauh sebelum Indonesia diproklamasikan. Para founding fathers, menggali nilai-nilai itu, mempraktekkannya, dan merumuskannya dengan indah dalam pembukaan UUD 1945.
Usai acara peluncuran buku, Dr. TB Massa Djafar mengatakan kepada NusantaraNews bahwa ada dua problem besar setelah para founding fathers merumuskan dasar negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pertama, pengertian kita hanya berhenti pada sebatas nilai-nilai normatif saja. Kita belum menterjemahkan Pancasila dalam implementasinya atau positif kebijakan. Kedua adalah pengembangan kognitif berbasis akademis, ilmiah dan empirik. Dua level ini belum kita kerjakan secara serius.
Dalam konteks inilah dunia kampus harus mampu menjadi jembatan yang menghubungkan nilai-nilai filosofis norma-norma Pancasila itu ke dalam ranah praksis. Karena seperti juga ideologi-ideologi besar dunia – yang keluar itu teorinya, tidak mungkin gagasan besar itu “terjun” kemudian secara otomatis lalu beroperasi. Itu tidak mungkin.
Sama halnya dengan sistem demokrasi di negara maju baik di Amerika Serikat (AS) dan Eropa Barat, bisa berkembang menjadi suatu model demokrasi bukanlah karena faktor alamiah semata, tapi juga dikembangkan dengan basis teori ilmiah.
Dalam perkembangan teori-teori ilmu politik modern, sudah ada kesepakatan bahwa teori demokrasi itu tidak harus berkiblat pada barat, yang memang telah lebih awal.
Padahal praktek-praktek kearifan lokal nilai-nilai demokrasi Pancasila sendiri, katakanlah seperti musayawarah mufakat, sudah lama berlangsung dan terus berkembang di tanah air.
Teori-teori politik itu bisa dikembangkan berlandaskan pada teori-teori kearifan lokal, tradisi-tradisi yang tidak kalah kapasitasnya sebagai guidance dalam menyelesaikan sejumlah masalah yang dihadapi masyarakat pada ranah praksis. Oleh Karena itu, kedua level itu harus bisa dilakukan secara ilmiah, melalui penelitian-penelitian empirik kemudian dihubungkan pada dunia praktis, atau politik praktis.
Jadi kita jangan hanya terpaku menganut pada teori-teori barat. Boleh- boleh saja, tapi pada batas prinsip-prinsip universal. Sebab dalam konteks manusianya itu tidak bisa.
Dalam konteks peradaban manusia dan sejarah inilah yang harus di jawab dengan pendekatan ilmiah, pendekatan keilmuan yang kemudian disambungkan dengan pelembagaan untuk diimplementasikan secara praktis. Bahkan kita juga bisa merumuskan indikator-indikatornya. Apakah kebijakan-kebijakan strategis yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik makin mendekat pada prinsip-prinsip Pancasila atau semakin menjauh. Itu sebenarnya sangat mudah. Tapi kita mesti merurumuskan barometer itu secara rigid. (as)