NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemilihan Umum 2019 serentak tidak kurang dari 30 (tiga puluh) hari lagi. Akan tetapi, dari konstelasi politik nasional kedua pasang Calaon presiden dan Calon wakil presiden berada di pusaran perebutan suara pemilih muslim.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia Cahyo Gani Saputro menilai hal tersebut wajar lantaran populisme agama di Indonesia sedang menonjol.
Baca Juga:
- Mahasiswa Diajak Ikut Perangi Hoax dan Tidak Golput
- Mahfud MD Menyerukan Tidak Golput dalam Pemilu 2019
- Survei LSI Temukan Suara Golput Sebagai Pemenang Pemilihan Umum
- Pendidikan Politik Anti Golput dalam Keluarga
“Saat ini yang terlupakan dan tidak disentuh adalah pemilih berbasis agama non Islam, Penghayat Kepercayaan dan kalangan pemilih dari Nasionalis – Marhaenis,” kata Cahyo Gani Saputro kepada nusantaranews.co melalui pesan elektroniknya, Rabu (20/3/2019).
Dia menyebut salah satu indikatornya adalah menurunnya suara partai berbasis nasionalis dari angka 29 persen menjadi 23 persen.
Disamping itu, lanjutnya, potensi bertambahnya kelompok yang menyebut golongan putih (golput) juga semakin tinggi.
“Indikatornya adalah berkurangnya suara partai berbasis Nasionalis dari 29 % hingga saat ini menjadi 23% dan tingginya potensi Golput,” ujarnya.
Menurut Cahyo, sudah barang tentu Golput bukan hanya pekerjaan rumah dari penyelenggara pemilu. Namun juga Partai Politik melalui Calon Legislatif (caleg) khususnya Calon DPR RI untuk bekerja keras meningkatkan partisipasi pemilih.
“Selain itu juga Tim Sukses dan Pasangan Calon, pentingnya menyentuh kalangan pemilih yang berpotensi golput,” tandas Cahyo. (mys/nn)
Editor: Achmad S.