NUSANTARANEWS.CO – Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yuyuk Andriati mengungkapkan penyidik KPK telah selesai melakukan pemeriksaan terhadap salah satu saksi bernama Ridho Insani terkait kasus penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) guna mendapatkan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam. Selama pemeriksaan tim penyidik KPK menanyakan soal kebijakan-kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sultra), khususnya saat dibawah kepemimpinan Gubernur Nur Alam.
“Dia diminta keterangan apa pengetahuannya tentang kebijakan-kebinakan Pemprov Sultra (Sulawesi Tenggara) terutama yang dikeluarkan oleh NA (Nur Alam),” tutur Yuyuk di Jakarta, Jumat, (21/10/2016).
Diketahui pemeriksaan terhadap Ridho yang merupakan hasil jemput paksa yang dilakukan oleh KPK. Dimana pada 20 Oktober 2016 kemarin, lembaga antirasuah menjemput PNS Pemprov Sulawesi Tenggara (Sultra) itu di kediamannya yang terletak di Kawasan Jakarta Timur. Saat disinggung apakah Ridho merupakan saksi kunci dari kasus tersebut ? Yuyuk tidak membantah dan mengiyakannya.
“Dia (Ridho Insani) memang diperlukan keperluannya penyidik dan dia sudah dua kali dipanggil tapi tidak ada keterangannya,” jawab Yeye.
Kemudian saat disinggung apakah mangkirnya Ridho dari panggilan penyidik KPK selama dua kali itu karena ada tekanan dari beberapa pihak ?
“Sampai saat ini saya belum dapat informasi tentang itu,” katanya.
Pada 23 Agustus 2016, Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), eksplorasi dan persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT. AHB di wilayah Sultra tahun 2008-2014.Dia diduga mendapatkan kick back atau imbal balik dari izin yang dikeluarkannya.
Atas perbuatannya, Nur Alam dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Nur Alam sendiri telah melakukan upaya untuk melepaskan status tersangkanya dengan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).
Namun Pengadilan tidak mengabulkan gugatan tersebut sehingga Nur Alam harus menjalani proses hukumnya kembali. (Restu)