NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Selama ini satu hal yang membuat mentok kasus Freeport adalah kerap dikaitkan dengan masalah arbitrase (hukum internasional). Dasar hukum yang digunakan pun selalu Kontrak Karya (KK). Sementara mengenai isi di dalam KK sendiri, sampai detik ini tak ada satupun yang bisa memberikan jawaban.
Dalam hukum perdata di tanah air, status KK levelnya berada di bawah undang-undang. Bahkan berada di bawah Keputusan Presiden (Keppres), karena status KK sejajar dengan Keputusan Menteri (Kepmen).
Pertanyaannya, apa dasar hukum yang menyebut Freeport diperbolehkan melakukan eksploitasi di Indonesia seumur hidup? Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat. Maka sudah semestinya, berhak mengeluarkan produk hukum sesuai yang diinginkan untuk kepentingan nasional.
Artinya kasus Freeport, acuan hukum yang digunakan adalah memakai hukum di Indonesia. Bukan hukum yang disebut sebut sebagai hukum internasional (arbitrase). Andaikan benar akan dibawa ke arbitrase internasional, maka pihak pertama yang akan menolak keras adalah PT Freeport sendiri. Karena apa? Dalam ekonomi, ketika sebuah peruhaan telah dibawa ke arbitrase, dipastikan sahamnya akan langsung jeblok.
Baca Juga:
Kesalahan Besar Pemerintah: Membuang Uang Sia Sia Ke Freeport
Jokowi Bohong Soal Akuisisi Saham Freeport Sebesar 51 Persen
Saham Freeport Anjlok, Ekonom Konstitusi: Lebih Baik Kontrak Habis
Tentu dalam hal ini pemerintah diuntungkan. Ketika saham Freeport jeblok, tak ada satu pun investor yang berminat untuk membelinya. Saat situasi demikian inilah, pemerintah Indonesia datang dan bias membeli sahamnya. Bukan seperti saat ini, justru mengucurkan dana hingga triliunan rupiah.
Hal mendasar yang perlu dipahami adalah status Joint Venture Agreement (JVA) antara Freeport dengan pemerintah Indonesia adalah B2G (Business to Government). Bukan G2G.
Sebagai contoh saja, ada seorang WNI terjerat kasus pembunuhan di Amerika. Secara hukum jika negara bersangkutan memiliki perjanjian ekstradisi, maka akan diekstradisikan. Jika tidak ada, maka hukum yang berlaku menggunakan hukum yang ada di negara bersangkutan. Begitupun sebaliknya.
Pertanyaannya, Freeport menggunakan hukum yang mana? Jawabannya adalah menggunakan produk hukum Indonesia, karena ia statusnya adalah Perseroan Terbatas (PT). Artinya singpang siur mengenai hukum internasional yang kerap disinggung para pengamat dalam kasus Freeport sesungguhnya menyesatkan. Kabar yang menyebut kasus Freeport memakai hukum internasional jelas kebohongan besar. Ironisnya, publik tanah air mempercayainya.
Sekali lagi, hubungan antara Freeport dengan pemerintah Indonesia, statusnya adalah B2G. Freeport McMoran dalam sejarahnya adalah koperasi kecil di Texas, Amerika serikat. Dulunya perusahaan tersebut nyaris bangkrut.
Ia kemudian menjalin kerjasama dan membentuk unit usaha di Indonesia dengan diberi nama PT. Freeport Indonesia (PT. FI), agar seolah seolah milik orang Indonesia. Dalam hal ini segelintir orang Indonesia yang ikut menjadi penumpang gelap dari beroperasinya Freeport. Mereka-mereka inilah yang selalu menghembuskan isu isu menakutkan soal Freeport. Seakan kasus Freeport pelik dan rumit.
Bagaimana Standing Position Indonesia?
Melihat, diranah hukum, standing position Indonesia saat ini di atas angin. Karena apa? Selain karena memang sebagai pemilik lahan, pemerintah juga memiliki wewenang untuk membuat kebijakan (regulator). Terlebih dalam kasus Freeport statusnya ada B2G. Dalam hal ini Freeport juga telah melakukan wanprestasi (lalai) terkait janjinya untuk membangun smelter tak dipenuhi.
Lantas apa sulitnya bagi pemerintah untuk mendesak Freeport hengkang? Justru yang membuat rumit dan sulit datang dari sebagian orang Indonesia sendiri yang memiliki ambisi agar tetap terus menikmati keuntungan dari beroperasinya Freeport.
Bila pihak Freeport selaku pemilik modal, mengeluarkan ancaman untuk menarik semua mesin mesinnya. Maka pemerintah tak perlu pusing. Sebaliknya dengan senang hati pemerintah mempersilahkan mereka mengangkut semua peralatan miliknya ke negara asal.
Dalam hal ini pihak pemilik modal jelas akan berpikir ulang. Sebab mereka tentu akan mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk membawa ke negara asalnya. Dalam hal ini posisi Indonesia memiliki daya tawar sangat tinggi. Mengapa harus takut?
Editor: Romadhon