NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ind Police Watch (IPW) membeberkan dalam waktu dekat Polri akan kembali memasukkan senjata impor sebanyak 12.500 pucuk senjata. Keberadaan senjata ini dikhawatirkan IPW akan menjadi polemik baru setelah sebelumnya Polri mengimpor 280 senjata jenis SAGL kaliber 40 mm beserta 5.932 butir peluru dari Bulgaria.
“Sejumlah regulasi perlu direvisi agar polemik persenjataan Polri tidak menjadi konflik TNI-Polri. Setidaknya ada tiga regulasi yang perlu direvisi agar berbagai pihak tidak salah kaprah menyikapi pengadaan persenjataan Polri,” kata ketua presdidium IPW, Neta S Pane, Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Berdasarkan kontraknya, paling lambat tanggal 8 Desember 2017 sebanyak 12.500 pucuk senjata milik Polri itu sudah harus mendarat di Bandara Soetta Jakarta. “Jika urusan regulasi ini tetap jadi polemik bisa-bisa ke-12.500 pucuk senjata Polri itu kembali ditahan TNI,” ujar Neta.
Seperti diketahui, TNI sebelumnya menahan 280 pucuk senjata standar militer yang diimpor Polri diperuntukkan Korps Brimob. Namun akhirnya senjata-senjata itu mendapat izin untuk diboyong ke Mabes Polri. Hanya saja, 5.932 butir peluru yang diduga tipe RLV-HEFJ (High Explosive Fragmentation Jump Grenade) masih diamankan TNI karena peluru tersebut tajam dan mematikan.
- Soal SAGL dan 5.932 Peluru, Boleh Jadi Polri Telah Bohongi Publik
- SAGL, Senjata Jenis SAGM untuk Keperluan Prajurit Tempur
- Ada Masalah dalam Regulasi Pengadaan Senjata
Menurut Neta, ada tiga regulasi yang perlu direvisi di antaranya Keppres No 125 thn 1999 tentang bahan peledak, Inpres No 9 Tahun 1976 tentang pengawasan dan pengendalian senjata api serta Peraturan Menteri Pertahanan yang mengatur persenjataan. “Sebab ketiga regulasi itu bertentangan dengan sejumlah undang-undang,” katanya.
Ia khawatir, jika regulasi ini tidak direvisi akan terus terjadi polemik dan sikap salah kaprah dari kedua institusi, TNI maupun Polri dalam menyikapi persenjataan mereka. Dijelaskan Neta, sejumlah kalangan sudah salah kaprah dalam menyikapi persenjataan Polri. Sebab, sejak reformasi di mana Polri terpisah dari TNI, secara hukum TNI tidak lagi bisa mencampuri urusan institusi kepolisian. TNI dan Polri saat ini berada dalam posisi setara sesuai dengan UUD 1945. Polri dan TNI memiliki UU sendiri.
“TNI tidak diperbolehkan mengintervensi Polri. Sebaliknya, Polri juga tidak boleh mengintervensi TNI,” ujarnya.
UUD 1945 mengatur tugas TNI menjaga pertahanan. Sedangkan, tugas Polri adalah menjaga keamanan serta melakukan penegakan hukum. Jadi, dalam mengimpor senjata untuk melengkapi kebutuhan personelnya Polri memiliki otoritas sendiri.
“Tapi anehnya kenapa TNI mengintervensi dan menahan senjata Brimob di Bandara Soetta Jakarta dan berbagai pihak mendiamkannya. DPR sebagai pengawal regulasi dan mitra kerja TNI-Polri tidak bersuara,” sebutnya.
Padahal, Neta menambahkan, payung hukum yang digunakan TNI untuk menahan persenjataan Polri tersebut sangat lemah, yakni Inpres nomor 9 tahun 1976 yang dikuatkan oleh Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010 tanggal 18 Juni 2010.
“Seharusnya setelah pemisahan TNI Polri, inpres tersebuT tidak berlaku lagi. Sejak terpisahnya Polri dari TNI dalam struktur kenegaraan, tidak dikenal lagi lembaga yang bernama kementerian pertahanan dan keamanan. Sementara Inpres yang digunakan masih mengacu kepada keberadaan menteri pertahanan dan keamanan. Kesemrawutan hukum inilah yang membuat polemik persenjataan tersebut mencuat ke permukaan dan seharusnya DPR harus menatanya agar tidak terjadi benturan antara TNI dan Polri akibat salah kaprah mempersepsikan payung hukum persenjataan Polri ini,” pungkasnya.
(Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews)