Dengarlah Nyanyian Angin
dengarlah nyanyian angin
di kulit-kulit daun kemarau
ke mana pagi tergelincir di rerumputan
dibaca cicit burung yang melintas
sungai-sungai meletakkan sedih
di batu-batu airmatanya membasah
dengarlah ikan-ikan meraung
merayakan cuaca dengan murung
Sewon, 2019
Renungan Musim
di sore yang mengelupas
sisik-sisik hari lepas
bersama kesedihan yang tak pernah tuntas
menjelma jarum dan benang
merajut malam yang teramat padam
malam telentang di tubuh bumi
waktu menyusup ke dalam mimpi
membukakan lukisan esok hari
di pinggir sawah yang remang-remang
rericik angin menghimbau pagi yang makin ganas
memudarkan demam yang kambuh semalaman
angin membalut dingin hingga berpagut
akar melilit meraba bumi
meremas cengkeram jantung padi
ada yang bangkit dari arah pantai dengan begitu asingnya
seperti menuliskan baris-baris puisi di udara
mengantar igauan jauh ke curam jiwa
ingin kutiup nyawa ikan yang mati di pinggir kali
menyimpan harapan di matanya yang menangkap langit
yang menerawang kematianku
Sewon, 2019
Konser Angin
angin memukul-mukul di daun beringin di kota
pelan terayun memainkan lagu dingin, lagu nestapa
di udara, suara bangkit dari sudut-sudut
memekikkan sunyi di relung gedung-gedung
ramai lalu lalang menghapus ingatan
yang tak pernah menetap
pada setiap langkah ada pertemuan kelam
di bawah lampu-lampu pendar
aku ingin menjadi penyair
yang menangkap angin di tanganku
seperti merayakan sunyi dengan konser angin
melepaskan ingin pada tiap urat ranting yang tegang
menggiring kenangan ke panggung masa depan
Sewon, 2019
Aku Mencintai Langit
aku mencintai langit sebab ia luas seperti hatimu
di dadanya bintang-bintang termenung
bulan mengintip ke dasar mataku dengan tenang
aku bahagia di bawahnya
sebahagia bunga yang dibawakannya matahari
seperti pohon yang dibagikannya hujan
meski semua tak pernah benar-benar sama
aku merindukan hatimu yang hijau itu
di mana kelak aku meringkuk dalam pelukmu
akar-akar menyusuri tubuhku dengan penuh sayang
aku mengenang daun gugur dari mimpiku
menangkap embun di matamu yang cahaya
aku mencintaimu sebab di dalam dirimu
kutemukan pagi kosong
di mana aku menjadi sajak yang biru
Sewon, 2019
Setelah Kutulis Surat Ini
setelah kutulis surat ini
kuharap kau menghentikan rindu
yang senantiasa mewaktu di jantungmu
yang selalu mengirimkan mimpi buruk pada pikiran tidurmu
kutinggalkan huruf-huruf yang mampu menceritakan cintaku
yang tak pernah selesai padamu
menjadi cermin bagi kenangan-kenanganmu yang gugur
kata-kata tak ubah percakapan yang tanggal
ia menjadi penuh di sini
di kertas yang kusisakan nafasku
kulipat beribu waktu di dalamnya
surat yang tak kusebutkan untuk siapa ini
akan terbaca sebagai puisi
Sewon, 2019
Kepada Kampung
kepada kampungku yang telah melahirkanku
dalam keadaan paling sedih
kuasingkan seluruh airmata
ke dalam lembar lembar penafsiranmu
biar wajahku memiliki masa depan
aku tuliskan ingatan-ingatan
yang selalu datang padaku
sebagai penyair yang mungkin gagal
kepada kampungku yang kutinggalkan
bayangan selalu jauh, selalu jauh
namun, setia ia menjaringku ke dalam kata
yang memiliki pagi dengan angin yang kosong
hanya mimpi yang mengalir dari tanganku
hanya angan yang mencair dalam inginku
kepada kampung yang kurindukan
yang melahirkan kesedihanku
aku tak bisa menampung harapan
Sewon, 2019
Lautmu Lautku
lautmu lautku
ombak menyimpanku di dalammu
di dalamku menyimpan ombakmu
aku menggiring namamu ke pantai ke pasir
menggambar mimpi matahari yang lingsir
kau membawaku ke pusara lautmu
ke palung paling dari cintamu
di kulitku bercumbu dingin asin dari kulitmu
badai di hatiku bergemuruh
ada rawan perahu-perahu karam
serpih-serpih impian yang labuh
jala ikan yang dibungkus rapi di dekat perahu
dalam ingatan kubungkus rapi kenangan
aku ingin menjaring matahari
namun, aku ditangkap rasa asing berulangkali
ombakmu menarik pasir ke jantungku
jantungku berpasir waktu dalam ombakmu
dalam arus mimpi yang lapar
masih belum juga mengembalikanku
padamu; iman yang dalam
Sewon, 2019
Membaca Mimpi
teka-tekimu adalah kematian
ia berdenting meneteskan sunyi
yang menggelombang di kolam jiwaku
menyamarkan bayangan semesta
saat matahari melukis di lantai sore
meruapkan pertanyaan-pertanyaan
yang tak pernah bisa menafsir udara dingin
yang bermain di kebun samping
aku tak kuasa menangkap suara
yang menjalar di luar jendela
membiaskan pertunjukkan lampu
yang menukar wajah sepi
senantiasa baris pertama adalah rahasia
namun nyaris kutemui seberkas kunci
aku menenggelamkan diri sepenuh ke dalam mimpi
berusaha menangkap huruf-huruf puisi
Sewon, 2019
Jam Bagi Kita
jarum itu berhenti pada angka satu
angan-angan ditebar
membaur kenangan sebelum pagi pudar
kau dan aku tak ubah angka yang tinggal
dilupakan setelah hari berlalu menuju petang
kau dan aku tak ubah dua jarum jam
yang saling mengejar
kapan sampai kepada saat yang dibunuh oleh detik
kau dan aku seperti getaran
berjeram menangkap gerak rembulan
namun tak pernah sampai menjadi utuh
Sewon, 2019
Menuju Malam
matahari dikupas angin sore
yang dingin dan tajam
berhembus dari laut yang berkilat
kulitnya lepas membalut sungai yang molek
tapi kurus
berlembar-lembar awan
berjalan menuju malam
mengejar bulan yang siap merobeknya
dan seorang penyair bermimpi
besok pagi ada tangis yang menjadi mendung
Sewon, 2019
Tentang penulis: Khanafi, lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 4 Maret 1995. Puisi-puisinya tersiar di beberapa media online seperti linikini.id, tembi.net, litera.co.id, serta termaktub di media cetak dalam bentuk buku antologi puisi bersama. Sekarang penulis tinggal di Sewon, Bantul, Yogyakarta menimba renungan di Lesehan Pondok Sastra Kutub, namun ia sering menulis puisinya di warung kopi bernama “Pincuk”.