NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif CISS, M.D. La Ode menilai istilah Democratic Policing yang dicetuskan Kapolri Tito Karnavian patut untuk diwaspadai. Sebab, hal itu bisa difungsikan oleh aktor politik menjadi tyranny of democracy (tirani demokrasi).
Dahrin menjelaskan, istilah Pemolisian Demokrasi (Democratic Policing) bersumber dari karya tulis Kapolri Jenderal Polisi Prof. Tito Karnavian, Ph.D. Dimana istilah itu dipakai dalam rangka mengubah paradigma Polri di era demokrasi yaitu bukan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi masyarakat secara umum.
Baca Juga: Polri Banyak Duduk di Jabatan Sipil, Wacana Dwifungsi TNI Muncul Dinilai Akibat Kecemburuan
“Memang Prof. Tito sebelum menjadi Kapolri memiliki niat kuat untuk membenahi organisasi, struktur, dan kultur Polri dengan cap society distrust, agar dipercayai masyarakat,” ungkap M.D. La Ode dalam keterangannya kepada NUSANTARANEWS.CO, Jumat (1/3/2019).
Karena itu lanjut dia, istilah Democratic Policing Prof. Tito patut diberikan apresiasi tinggi. Namun di balik itu, istilah Democratic Policing secara implisit ternyata lebih cenderung menjadi The Ruling Police dari pada police public servent yaitu kultur polisi yang diharapkan oleh masyarakat.
“Setingkat lebih tinggi dengan itu, istilah Democratic Policing Prof. Tito bisa difungsikan oleh aktor politik menjadi tyranny of democracy,” ujarnya.
Baca Juga: Benarkah Rencana Pengembalian Dwifungsi TNI Sebagai Respon Gagasan Dwifungsi Polri?
Dengan demikian kata La Ode, “Maka penggunaan istilah Democratic Policing menjadi fungsi kultur polisi apa lagi dengan alasan demi community security and order patut diwaspadai oleh masyarakat,” tegasnya.
Sebagai catatan sambungnya, bahwa demokrasi perdefinisi adalah instrumen politik untuk menetapkan pemimpin politik bukan instrumen polisi.
Pewarta: Romandhon