NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dalam sepekan, sedikitnya 400 orang Rohingya tewas akibat operasi pembersihan pasukan pemerintah di Rakhine State, Myanmar. Dan sekitar 123.600 orang melarikan diri dengan menyeberang ke negara tetangga, Bangladesh agar jiwa mereka selamat dari aksi pembunuhan.
Perlakuan Myanmar yang mayoritas beragama Buddha terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya adalah tantangan terbesar yang dihadapi Aung San Suu Kyi, yang telah dikecam oleh kritikus Barat karena tidak berbicara mengenai minoritas yang telah lama mengeluhkan tindakan penganiayaan dan kekerasan. Kritik itu terus berdatangan karena Suu Kyi diketahui mendapatkan nobel perdamaian, sebuah gelar yang bertolak belakang dengan situasi dan kondisi di negaranya itu.
“Memang nobel perdamaian ini hadiah politik. Sebenarnya tidak ada kaitannya nobel itu dengan bahwa seseorang itu bisa menjaga mobilitinya,” kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, Jakarta, Selasa (5/9).
Menyusul tragedi kemanusiaan di Rakhine State, yang dialami etnis Rohingya tak sedikit pihak mendesak nobel perdamaian Aung San Suu Kyi dicabut. Sikap Suu Kyi dikatakan tak menunjukan kalau dirinya sebagai sosok yang mampu menciptakan perdamaian, terutama di Myanamr. Malah, Suu Kyi cenderung bungkam atas aksi pelangaran hak asasi manusia (HAM) di Rakhine State, padahal dia adalah seorang penasihat negara Myanmar.
“Tapi kita melihat, tindakan yang ditunjukan oleh Daw Aung San Suu Kyi tidak menunjukan bahwa dia adalah orang yang bisa mencegah terjadinya pembantian di kawasan dia sendiri. Bagaiman dia mau ikut dalam perdamaian dunia? Di wilayahnya sendiri secara de facto berkuasa dia tidak mampu melakukan itu. Jadi tidak pantas dia menerima nobel perdamaian,” kritik Fadli Zon. (ed/uck)
(Editor: Eriec Dieda)