NUSANTARANEWS.CO – Bukan apa-apa, hanya sekedar bunga yang aku tanam di dalam mimpi. Ia memegang setangkai bunga mawar merah di taman halaman rumahnya. Bukan rumah, tetapi istana sebab aku tak pernah sekali pun menemukan bangunan semegah itu. Aku kira, istana Raja saja mungkin tak semegah rumah itu. Ia mengajaku ke sebuah tempat, yang membuat aku terperanga dalam kekaguman. Sebuah tempat di mana tak ada lagi hiruk pikuk persoalan dunia yang menurutku menjenuhkan. Aku dan ia berbaring di padang rumput hijau, memandangi langit biru berawan, melihat burung-burung camar berputar-putar di angkasa, menghirup udara segar.
Ia bertanya kepadaku “Apakah,engkau suka dengan tempat ini?”
“Tentu saja, aku suka dengan tempat ini; bagaimana mungkin, aku tak menyukai tempat seperti ini, sungguh aku tak bisa menggambarkannya dengan lukisan ataupun kata-kata. Tempat apa ini? Bagaimana bisa, engkau tinggal di tempat seindah ini?” tanyaku.
“Aku juga tidak tahu, mengapa aku bisa tinggal di tempat seperti ini. Ketika aku tertidur, lalu aku terbangun, tiba-tiba aku sudah tidak berada di alam dunia melainkan, aku sudah berada di alam lain, mungkin ini adalah alam kubur, padahal aku masih ingin tinggal di alamku yaitu alam dunia; masih banyak impian-impian yang belum terwujud, tetapi aku bahagia sekali tinggal di alam baruku ini.” Jawabnya.
“Sampai kapan kamu tinggal disini?” tanyaku lagi.
“Entah kapan, mungkin setelah malaikat Israfil meniupkan sangkakala. Hari di mana semua manusia dibangkitkan dari kubur, hari di mana tak lagi mengenal keluarga atau saudara, hari di mana tak lagi mengenal kawan atau lawan, sebab sibuk menyelamatkan diri dari bencana akhir zaman. Ketika matahari sudah sampai diatas ubun-ubun; digiring ke sebuah padang mahsyar.” Ia menjawab.
Gadis itu begitu cantik, bergaun seperti seorang Putri Raja, dengan balutan intan bermata. Sekalipun, aku tak berani menatap matanya yang bening sebab, aku belum siap untuk mabuk kepalang. Seluruh aliran darahku mengalir deras, ketika ia menggenggam tanganku. Ia mengajaku keliling istananya menggunakan kereta kencana. Kulihat hamparan permadani hijau membentang luas, aku mendengar teriakan-teriakan air terjun di tebing itu. Ia mengajakku duduk di bawah pohon anggur yang rindang, sambil melihat indahnya pelangi bergaris cekung.
Sesekali, ia menatapku dengan sorot mata berbinar kemilauan. Aku tak berkutik dan aku salah tingkah. Aku ingin berucap bahwa ini seperti mimpi tetapi ini adalah mimpi. Seumur-umur, aku tidak pernah merasakan mimpi seperti ini. Aku memohon padanya, agar ia tidak menatapku, karena aku punya penyakit jantung dan ia hanya tersenyum simpul penuh pesona.
“Sudah kukatakan, aku punya penyakit jantung, jangan buat jantungku berdebar-debar tak karuan seperti ini.” Ucapku.
Ia pun melemparkan pandang ke arah pelangi itu. Entah kenapa, aku tidak bisa menolak, jika mata ini memandangi keelokan parasnya. Sebuah kekaguman yang mungkin tak pernah aku rasa sebelumnya.
“Bolehkah aku bertanya kepadamu?” Tanyaku sedikit malu-malu.
“Boleh, asal engkau tak menanyakan statusku,tentu tak akan kujawab!” Jawabmya.
“Tidak, aku cuma menanyakan namamu saja.” Aku menjelaskan.
“Namaku Habibah. Nama adalah doa, orang tuaku memberi nama itu agar aku menjadi sosok yang mempunyai kelembutan hati, penuh kasih sayang kepada sesama dan cinta damai seperti ajaran Rasullah; mencegah perpecahan antar umat, tidak suka menghina, memaki, mencaci, dan menistakan. Aku selalu menjunjung tinggi makna bineka tunggal ika, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila. Negara ini lahir bukan hanya dari satu golongan tetapi negara ini lahir dari keberagaman suku bangsa.
Aku tercengang kembali, tak cuma cantik, ia juga memiliki kepribadian yang baik. Andai saja ini adalah alam nyata dan bukan alam mimpi, pasti aku akan mengemis-ngemis cintanya agar aku menjadi kekasihnya. Kiranya, aku telah jatuh hati padanya. Matanya memantulkan pelangi di hadapanya, sorot matanya memancarkan kesejukkan. Aku tak bisa berhenti curi-curi pandang pada parasnya yang rupawan; sebuah karya Tuhan menciptakan wajah yang mempunyai nilai-nilai magis.
“Maukah, engkau mendengar ceritaku ini?” Ia memulai percakapan.
“Tentu saja, aku bersedia mendengarkan ceritamu, silahkan cerita, aku siap menjadi pendengar yang baik untuk mendengar ceritamu” Jawabku.
“Dulu aku seorang guru ngaji di sebuah surau kecil di sebuah kampung pedalaman. Jarak tempuh yang aku lewati cukup ngenguras keringat untuk sampai ke surau itu. Jalan berbatu yang setiap hari menggoncangkan tubuhku dan othelku. Aku harus melewati tanjakan-tanjakan berbukit, enam kali dalam seminggu karena hari Jumat libur. Bagiku, rutinitas seperti ini Adalah farduain’, sebab di kampung itu tak ada lagi pelita yang menyinari mereka. Aku tak tega jika warga kampung itu diselimuti kejahiliyahan. Jihadku bukan berteriak-teriak di ibu kota, bukan pula mengobral takbir yang dikumandangkan di jalanan. Jihadku adalah tindakkan nyata yaitu menjadikan generasi bangsa yang berakhlakul karimah, sebagai bentuk usahaku menegakkan amar makruf nahi mungkar. Tak usah engkau tanyakkan bayaran, sungguh, aku sangat bahagia ketika melihat murid-muridku bersemangat untuk belajar. Tak cuma belajar mengaji, aku juga mengajari mereka baca tulis, karena banyak dari mereka yang putus sekolah gara-gara jarak yang jauh menuju sekolahan dan lagi-lagi biaya yang menjadi momok menakutkan bagi mereka. Meskipun ada semacam kabar baik dari pemerintah yaitu menggratiskan sekolah, tetapi tetap saja harus membayar ini, itu yang menyulitkan mereka untuk bersekolah. Sekarang siapa yang harus disalahkan? Entahlah, biarlah ini menjadi kisah menyedihkan di negeri ini. Kadang aku terharu dengan mereka, semangat belajar mereka sungguh mengagumkan. Keterbatasan tak menjadi soal, sebab dalam keadaan yang serba tidak memungkinkan, mereka masih menyimpan secercah harapan untuk belajar. Aku abdikan hidupku untuk masyarakat, melakukan hal-hal yang sekiranya baik untuk orang lain, karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang mampu memberi manfaat bagi orang lain dan satu lagi, aku mempunyai prinsip, bahwa hidup sekali harus berarti.”
Aku terdiam oleh gadis itu, hatiku terasa leleh. Gadis cantik di sampingku ini, ternyata begitu luar biasa, di balik paras yang menawan tersimpan hati yang mulia, cita-citanya begitu luhur. Aku merasa ini adalah tamparan buat diriku yang selama ini tidak terlalu memperdulikan lingkungan sekitar. Hanya saja, apakah ada seorang gadis seperti dalam mimpiku ini di kehidupan nyata yang semakin dewasa ini? Tentu saja seribu satu.
Hampir di tempat ini tak ada kesediahan, tak sulit bagiku untuk beradaptasi. Ia masih duduk bersamaku memandangi pelangi yang mulai memudardi bawah pohon anggur yang menjalar rindang, buahnya bergelantungan memerah mempesona, tak sulitku gapai, tetapi aku sibuk dengan dadaku yang dari tadi berdekup kencang. Aku abai dengan anggur di atas kepalaku, bagiku gadis itulah yang lebih memabukkanku.
***
Dalam sebuah mimpi apapun bisa terjadi, seperti halnya imajinasi. Gunung bisa menjadi laut, laut bisa menjadi gunung, langit jatuh atau semacam kejadian yang tak mungkin terjadi, bahkan aku bisa saja menjadi apa yang aku impikan. Bukankah tidak haram, jika aku mencintai seseorang meski hanya ada dalam alam mimpi? Aku tak menyadari bahwa benih-benih cinta sudah semakin subur. Aku sudah cukup sadar, jika yang kucintai ini hanyalah bunga tidurku saja. Mungkin tak ada salahnya jika aku mengakui kegilaanku ini. Aku mencoba jujur pada hati ini.
“Habibah, aku mencintaimu, bersediakah engkau menjadi kekasihku walau hanya dalam mimpi?”
“Terlambat. Cintaku sudah kutambatkan kepadanya, cinta yang sebenar-benarnya cinta. Di dalam hatiku sudah bersemayam nama Allah dan aku ingin setia kepandanya.
Aku terbangun dari tidurku, dada ini terasa sesak, keringatku bercucuran, kuambil nafas panjang. Aku baru menyadari, bahwa ini hanyalah mimpi.
*Anas Sholehudin JS, lahir di Bojonegoro dan sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). No Hp: 085785778756. Mukim di PPM Hasyim Asy’arie Jl. Parangtritis, Km 07, Cabean, Sewon, Bantul.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].