NUSANTARANEWS.CO. Cina membantah dengan keras bahwa negaranya telah mencampuradukkan bisnis dengan politik – di mana Cina sering menggunakan sanksi perdagangan untuk menghukum negara-negara yang menolak bekerjasama dengannya. Seperti sanksi ekonomi Cina baru-baru ini yang dilakukan terhadap Korea Selatan yang menggelar sistem rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) – adalah contoh mutakhir dari Beijing yang menggunakan perdagangan sebagai senjata politik.
Seperti diketahui AS pada bulan Mei lalu telah menggelar sistem pertahanan sistem rudal THAAD yang dipasang di Korea Selatan untuk mencegah ancaman nuklir Korea Utara. Namun menariknya yang merasa terancam justru Cina dan Rusia – yang mencurigai bahwa radar THAAD dapat digunakan untuk memata-matai kekuatan militer mereka.
Merasa terancam dengan penempatan sistem rudal THAAD tersebut, pemerintah Cina kemudian memanfaatkan ketergantungan ekonomi Korea Selatan dengan menerapkan sanksi ekonomi berupa pembatasan impor termasuk perjalanan wisata dan akses penangkapan ikan.
Korea Selatan bukan kali ini saja mendapat sanksi dari Cina. Pada tahun 2000 ketika Korea Selatan menaikkan harga bawang putih untuk melindungi petani dari banjir impor, Cina merespons dengan melarang impor ponsel dan polietilen Korea Selatan.
Adalah sebuah kenyataan bahwa Cina telah menjadi negara tiran perdagangan dalam hubungan dagang internasional. Cina tidak peduli dengan peraturan perdagangan internasional, bahkan tetap mempertahankan hambatan nontarif untuk mempertahankan persaingan luar negeri; Mensubsidi ekspor; Memiringkan harga pasar domestik demi perusahaan Cina; Pembajakan kekayaan intelektual; Menggunakan undang-undang antimonopoli untuk memperkaya konsesi; Dan akuisisi underwriting perusahaan asing untuk membawa pulang teknologi mereka. Cina bahkan menganggap pakta bilateral tidak lebih dari sekedar alat untuk memungkinkannya mencapai tujuannya.
Terpilihnya Presiden Donald Trump yang diharapkan mampu mengatasi perdagangan bebas Cina, ternyata sejauh ini tidak mengambil tindakan apapun terhadap negara yang telah lama diserangnya sebagai penipu perdagangan. Ironisnya, Trump malah memperkuat posisi Cina terutama dengan menarik AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berusaha untuk menghidupkan kembali TPP, namun tanpa partisipasi AS, Jepang tidak mampu melawan perilaku merkantilis Cina yang semakin menjadi-jadi.
Peluang TPP untuk membendung perilaku dagang Cina tampaknya perlu diperluas mencakup India dan Korea Selatan. Dengan strategi internasional yang terpadu, dengan komponen TPP yang solid kemungkinan besar baru dapat memaksa Cina untuk mengikuti aturan perdagangan internasional.
Berikut beberapa negara lain yang telah menjadi korban sanksi perdagangan Cina.
- Mongolia menjadi kasus klasik sanksi pemaksaan geo-ekonomi karena telah mengundang Dalai Lama pada bulan November lalu.
- Norwegia mendapat sanski pembalasan perdagangan Cina setelah pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 2010 kepada pembangkang Cina yang dipenjara Liu Xiaobo. Akibatnya, ekspor ikan salmon asal Norwegia ke Cina ambruk.
- Jepang mengalami sanksi ekonomi secara halus oleh Cina dengan menghambat ekspor bahan baku mineral yang di monopoli oleh Cina akibat perselisihan pulau-pulau di Laut Cina Timur yang disengketakan.
- Filipina menjadi korban sanksi Cina akibat insiden di dekat Scarborough Shoal yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Cina kemudian membatasi perjalanan wisata dan pembatasan terhadap impor pisang yang membuat bangkrut para petani pisang di Filipina.
(Banyu)