NUSANTARANEWS.CO – China Sudah Berani Klaim Perairan Utara dan Barat Laut Kepulauan Natuna. Sengketa Indonesia versus China di Kepulauan Natuna kembali memanas meski Menteri Luar Negeri Retno Marsudi 20 November 2015 lalu sempat menegaskan jika Tiongkok tidak pernah mengklaim kawasan tersebut sebagai wilayah kedaulatannya. Bahkan, Menlu sempat menjelaskan bahwa Kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna sudah didaftarkan ke PBB.
Kendati Tiongkok (China) disebut Menlu telah mengakui perairan Natuna milik Indonesia, tapi belakangan kapal-kapal nelayan negara komunis itu justru sangat rajin berpatroli di Natuna dengan dalih menangkap ikan. Bahkan, belakangan peta terbaru Tiongkok menambahkan garis putus-putus yang menjangkau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI.
Tercatat sudah tiga kali nelayan China dipergoki, dikejar dan ditangkap di perairan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena mengeksploitasi kekayaan ekonomi perairan itu tanpa ijin resmi Indonesia. Setiap kali China selalu protes karena mereka menggunakan prinsip bahwa perairan itu adalah perairan perikanan tradisional mereka.
Kasus terakhir, KRI Imam Bonjol-383 menangkap kapal ikan China ilegal, Han Tan Cou 19038, di Laut Natuna, Jumat (17/6) lalu, yang disertai kawalan kapal Penjaga Pantai China. Kasus terakhir ini berbuntut panjang. Pemerintah China menyampaikan protes resmi kepada pemerintah Indonesia atas insiden penembakan kapal nelayannya oleh kapal TNI Angkatan Laut di perairan Natuna, Jumat lalu. China mengklaim penembakan itu mengakibatkan salah seorang anak buah kapalnya luka. Informasi lain menyebutkan bahwa kapal-kapal itu bukanlah milik nelayan, melainkan kapal militer China.
Menyikapi permasalahan itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana meminta Indonesia harus segera memposisikan diri sebagai negara yang keberatan secara konsisten (persistent objector) atas okupasi China.
“Sementara protes oleh Kementerian Luar Negeri pada setiap penangkapan kapal nelayan asal China adalah dalam rangka Indonesia tidak mengakui Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line) berikut wilayah perikanan tradisional mereka, ” ujar Juwana dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (21/6/2016).
Dalam peristiwa Jumat lalu, TNI Angkatan Laut sempat melepaskan tembakan peringatan kepada sejumlah kapal nelayan berbedera China yang tengah asyik mencuri ikan (illegal fishing) di dekat Kepulauan Natuna. Penembakan inilah yang diprotes China melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negerinya, Hua Chunying.
“Dari sejumlah insiden yang terjadi dan terakhir yang dikejar oleh KRI Imam Bonjol Jumat kemarin para nelayan asal China memasuki wilayah ZEEI bukannya secara tidak sengaja. Bagi para nelayan tersebut sebagian ZEEI dianggap sebagai wilayah tradisional mereka untuk menangkap ikan,” jelas Hikmahanto.
Bukannya meminta kapal-kapalnya kembali, pemerintah China justru mendukung tindakan armada-armada lautnya tersebut dengan dalih daerah yang disambangi merupakan masuk dalam perairan perikanan tradisional China. Padahal, seperti dilansir Antara, China tidak pernah menandatangani UNCLOS 1982 dan mereka memberlakukan dokumen sepihak yang menyebutkan perairan di utara dan barat laut Kepulauan Natuna sebagai perairan perikanan tradisional mereka. Sementara UNCLOS 1982 dan semua hukum laut internasional tidak mengenal istilah perairan perikanan tradisional mereka itu. Sebaliknya, pemerintah China memposisikan diri menafikan ZEE Indonesia di wilayah yang diklaim sebagai perairan perikanan tradisional mereka.
“Perairan perikanan tradisional inilah yang menjadi dasar bagi China untuk melakukan klaim atas Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dash Line,” terang Hikmahanto lagi.
Untuk itu, kebijakan luar negeri Indonesia didesak segera mengambil tindakan tegas dengan tidak mengakui klaim China atas Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line). Indonesia juga berharap agar dalam putusan Arbitrase Filipina melawan China, Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line) dinyatakan tidak sah berdasarkan UNCLOS 1982. (Sego/Red)