Ekonomi

Catatan Akhir Tahun Fadli Ungkap Penyebab Gagalnya Swasembada Pangan

waketum gerindra, fadli zon, wakil ketua dpr, politisi gerindra, nusantaranews
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fadli Zon. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO/Achmad S)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menutup tahun 2018 dengan beberapa catatan akhir tahun terkait kebijakan pertanian di Indonesia. Fadli mengatakan, Indonesia sebagai negara agraris, kebijakan pemerintah bidang pertanian belum memiliki konsep dan kosistentsi yang jelas. Itu sebabnya isu-isu pertanian di Indonesia masih tetap didominasi oleh wacana subsistensi, seperti ketahanan pangan dan sejenisnya.

“Saya memiliki beberapa catatan akhir tahun di bidang pertanian. Salah satunya terkait janji untuk swasembada pangan tak tercapai, impor semakin dominan terutama untuk beras, gula, jagung, sampai garam,” kata Fahri dalam catatan akhir tahunnya, Senin (31/12/2018).

Baca Juga:

Menurut Fadli, secara garis besar, ada dua masalah yang membuat kenapa sektor pertanian di Indonesia terus-menerus terbelenggu, tak mencapai banyak kemajuan. Pertama adalah soal konsep dan kedua soal konsistensi.

Baca Juga:  Rakyat Banyak Kesulitan, Kenaikan Pajak PPN 12 Persen Layak Dikaji Ulang

“Terkait dengan konsep, kita tak pernah memiliki desain kebijakan pembangunan pertanian yang komprehensif. Pertanian adalah tulang punggung negara kita, karena sebagian besar rakyat kita bekerja di sektor ini. Jika kita gagal merumuskan konsep kebijakan yang tepat, maka negara ini bisa ambruk,” kata Fadli.

“Namun, di sisi lain, konsep yang bagus saja tak cukup. Meskipun kita punya konsep bagus, misalnya, tapi jika tidak diimplementasikan secara konsisten, juga tak akan ada hasilnya. Itu sebabnya, menurut saya, konsep dan konsistensi adalah kata kunci keberhasilan. Ini yang saya lihat tidak ada dalam pemerintahan Presiden Jokowi,” imbuhnya.

Fadli mencontohkan, misalnya terkait kebijakan harga pangan, apa sebenarnya orientasi kita? Apakah harga murah untuk konsumen, ataukah kemakmuran petani produsen? Jika orientasinya harga murah, maka kebijakan impor pangan jorjoran mungkin harrs diterima. “Tapi, akibatnya petani produsen kita bisa mati,” ujarnya.

Sebaliknya, lanjut Fadli, jika orientasinya adalah kemakmuran petani produsen, berarti kita harus memberikan ruang toleransi yang cukup bagi petani untuk mendapatkan insentif. Jangan tiap kali petani mendapatkan harga bagus, langsung ditutup dengan impor.

Baca Juga:  Kemitraan Jobstreet by SEEK dan APTIKNAS Hadirkan Jutaan Lowongan Pekerjaan

Jikapun impor pangan tidak bisa dihindari, hematnya, tetap saja ada satu prinsip yang tidak boleh dilanggar oleh sebuah negara agraris, yaitu jangan sampai impor itu merugikan petaninya sendiri. “Inilah yang tidak saya lihat dijalankan oleh pemerintahan Presiden Jokowi,” katanya.

Fadli beri contoh lagi, dalam kasus impor gula misalnya, tahun ini pemerintah telah menerbitkan izin impor sebesar 3,6 juta ton GKR (Gula Kristal Rafinasi). Jumlah izin tersebut sangat aneh, sebab kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri kita hanyalah sebesar 2,4 hingga 2,5 juta ton GKR saja.

“Ujungnya, kebijakan tersebut merugikan para petani tebu kita. Menurut saya, sebagai negara agraris, orientasi pembangunan mestinya kemakmuran petani. Kegairahan produksi, melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi, harus didesain sebagai konsekuensi adanya rangsangan insentif bagi petani,” jelasnya.

“Maksudnya, jika petani produsen mendapatkan insentif menarik, dari pengalaman sejarah, produksi komoditas otomatis akan bertambah kok. Masalahnya, bagaimana kita meningkatkan insentif bagi petani? Saya melihat, di sinilah kita perlu meningkatkan ‘human capital’ petani, terutama terkait kemampuan entrepreneurship mereka.

Baca Juga:  Pembangunan Irigasi, Langkah Strategis Pemkab Sumenep untuk Petani Tembakau

Menurut hemat Fadli, petani Indonesia harus dididik bukan hanya mengenai teknik dan teknologi baru pertanian, yang bersifat ‘on farming’, melainkan juga strategi usaha tani, yang bersifat ‘off farming’. Sementara itu, lanjutnya, pemerintah harus memberdayakan kembali para penyuluh pertanian.

“Para penyuluh harus diberdayakan dengan perspektif baru, penyuluhan usaha tani. Kita harus mengubah perspektif pembangunan pertanian dari orientasi subsisten menjadi orientasi komersial. Petani harus dididik menjadi pengusaha.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,190