Bijak Menyikapi Doktrin Radikalisme
Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia
Jadi, apa yang sepantasnya dituliskan di tengah suasana hiruk-pikuk, kegaduhan informasi, dan segala tetek-bengek yang menjejali pikiran manusia? Sewaktu saya menjadi pembicara pada acara dialog bertajuk Jurnalisme Keagamaan yang diselenggarakan Kementerian Departemen Agama di Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu, saya sempat menegaskan pentingnya media dakwah Islam untuk disebarluaskan secara massif. Bagi saya, ketika sebagian orang memakai kata ‘revolusi’ menurut penafsirannya sendiri, kita pun perlu menggunakan kata revolusi untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.
“Hanya bom yang sanggup melakukan revolusi!” Seseorang yang nampaknya pemimpin dari suatu jamaah berteriak lantang di belakang para peserta dialog. Saya tidak menanggapi teriakannya. Meski dalam hati saya bertanya-tanya, bukankah yang diundang adalah para wartawan dan staf-staf redaksi koran dan majalah keislaman se-provinsi Bali. Saya berusaha untuk tidak berburuk sangka bahwa dia dan beberapa anak-buahnya adalah “para penyusup”. Sampai kemudian, dari atas panggung saya punya hak untuk bertanya, apakah ungkapan Saudara tadi sebagai bentuk tanggapan ataukah pertanyaan yang perlu saya jawab?
Orang itu diam tak berkomentar. Beberapa anak buahnya tersenyum. Entah senyum bermakna apa. Bagaimanapun saya harus menghargai pihak manapun yang mau bicara apa saja. Sah-sah saja. Tapi, tentu akan lebih elegan dan beretika seandainya dia bicara pada waktu yang ditentukan oleh moderator. Dan dia pun berhak untuk mengungkap seluruh isi gagasan di kepalanya seandainya dia mendapat giliran sebagai pembicara atau penceramah yang diundang lembaga, organisasi, atau departemen kementerian manapun.
Problem yang sama pernah saya hadapi sewaktu menerima telpon dari penanya, saat mengisi acara bertema Tauhid dan Kemerdekaan Jiwa yang disiarkan secara langsung oleh tiga radio FM di Kota Serang, Banten. Sang penanya memanfaatkan waktu luang dalam forum pertanyaan, untuk mengungkap segala unek-unek yang katanya, cukup lama terpendam.
Dengan panjang-lebar dia menyampaikan gagasannya, sampai-sampai teguran dari pembawa acara tak dihiraukannya. Dia bicara dengan nada keras tentang pentingnya jihad, bahwa hidup ini adalah perjuangan, dan selama hayat di kandung badan kita harus mengobarkan ‘jihad fi sabilillah’. Tapi masalahnya apakah yang pantas diperjuangkan dalam hidup ini?
Kalaupun kita sepakat bahwa bicara dan menulis pun merupakan jihad, persoalannya apa yang layak ditulis dan dibicarakan? Bukankah mulut kita adalah amanat, termasuk jari-jemari yang kita manfaatakan untuk menulis dan mengetik? Silakan saja orang mengungkap gagasannya dengan cerdas dalam bentuk omongan maupun tulisan. Namun persoalannya, hidup manusia dibatasi oleh hubungan kemaslahatan yang terus berinteraksi antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya?
Saat ini, kita telah memasuki zaman euphoria kebebasan, setelah terkungkung oleh rezim militerisme selama puluhan tahun. Namun, bukankah kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain juga? Jika kita memaksakan diri menabrak lampu merah di simpang jalan, apakah hal tersebut tidak mencelakakan diri kita dan orang lain? Apakah kita harus punya hitung-hitungan, bahwa orang-orang yang mengendarai kendaraan dari arah yang berlawanan itu beragama Islam, Kristen, Kong Hu Cu, maupun paham dan ideologi lain yang cenderung liberal? Jikapun kita beramal baik dalam bentuk harta maupun gagasan pemikiran, apakah juga dihitung-hitung bahwa sang penerima amal tersebut harus beragama Islam maupun non-muslim?
Justru Islam memperkenalkan dirinya dengan sikap-sikap (akhlaq) yang elegan dan egaliter, hingga diupayakan membuat pihak lain terpesona dan terpukau karena citra kebesaran dan keagungannya, bukankah begitu?
Tentang gejala radikalisme yang banyak menyita pikiran dan perasaan kaum muslimin, kerap kali saya mendiskusikan hal tersebut dengan pemimpin pesantren, baik yang menamakan diri khalafi (modern) maupun salafi.
Ketika saya mendapat kesempatan berceramah, baik di forum kebudayaan maupun keagamaan, seringkali saya nyatakan bahwa gejala-gejala radikalisme termasuk problem sosial kita bersama.
Selain itu, tentu saja ada faktor pola ajar dan pola asuh yang tak lepas dari matarantai ajaran sang guru (mursyid) kepada muridnya. Juga dari bacaan macam apa yang merasuk ke dalam otak dan memori anak-anak didik kita.
Saya meyakini bahwa tidak ada kitab dan ajaran apapun yang menganjurkan anak-anak bangsa agar mendahului kehendak Tuhan. Juga tidak ada ustad dan kiai manapun yang mengajarkan muridnya agar bertindak anarki atau menganjurkan fanatisme dan radikalisme. Logika macam apa yang bisa membenarkan seseorang bertindak anarki berdasarkan keyakinan yang dipupuk secara sepihak, memandang ajaran Islam secara sepotong-sepotong, membuka lembaran kitab dengan memilih bab-bab yang dianggap mengenakkan untuk kepentingan egoisme dan keangkuhannya? Lantas bagaimana dengan bab-bab yang lebih prioritas, misalnya anjuran untuk bersabar, tawakkal, kasih-sayang terhadap sesama, atau keagungan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin?
Adapun tentang laju dan pesatnya arus informasi yang mengepung keseharian kita, tentu kita membutuhkan waktu dan kesabaran. Akan ada masanya mengalami proses sanering dan kristalisasi sejarah. Yang penting, kita tidak boleh mengandai-andai berlebihan. Ikutilah prosesnya dengan arif dan bijak. Pahamilah prioritas terpenting dari keberkahan lajunya informasi yang menyertai hidup kita. Jangan melawan arus perubahan yang begitu hebat dan kencang di sekeliling kita. Jangan terpancing pada hal-hal yang tidak substantif untuk dipersoalkan.
Teruslah optimistis, karena pada hakikatnya apa yang sedang kita pikirkan, bicarakan, dan apa yang kita tuliskan melalui wacana dan opini di media ini, tak lain merupakan representasi dari pikiran umat manusia yang sedang berinteraksi secara global.
Bukankah energi dari pikiran dan gagasan para jurnalis, wartawan dan kaum intelektual, yang difungsikan bagi kemaslahatan umat, tak lain merupakan cerminan dari energi alam semesta yang sedang saling berinteraksi. Dan siapa yang menyangsikan bahwa kreativitas itu pada hakikatnya adalah jihad untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan pencerdasan umat?