NUSANTARANEWS.CO – Direktur Eksekutih Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau Riko Kurniawan tegas menyatakan bahwa kebakaran hutan yang nyaris menyeluruh ini terjadi karena lahan gambut sudah melalui proses pengeringan. Pengeringan itu dilakukan berdasarkan izin yang diberikan oleh pemangku kebijakan.
“Semestinya perluasan wilayah oleh pihak industri dilakukan tanpa harus melakukan pengrusakan. Karena kebakaran hutan telah terjadi, berarti pengrusakan telah terlakukan. Jadi, yang harusnya bertanggung jawab dalam persoalan kabut asap adalah pemilik perusahaan dan pemerintah selaku pemberi izin,” kata Riko saat berbincang dengan nusantaranews.co lewat telepon, Rabu Malam (31/8)
Menurut dia dalam persoalan kebakaran hutan dan kabut asap, masyarakat setempat justru adalah korban dari oknum-oknum tertentu. Mereka adalah cukong perusahaan yang didorong oleh persoalan ekonomi.
Lebih lanjut Riko menegaskan terkait hal ihwal terjadi kabut asap. “Ketika Lahan gambut sudah beralih fungsi, dikeringkan, dibakar atau terbakar, selanjutnya akan mengeluarkan asap yang besar,” terangnya.
Bencana kabut asap bagi Direktur Eksekutif WALHI Riau itu merupakan bukti betapa buruknya tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah, baik itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional, Kementeria Kesehatan maupun Gubernur Riau.
Sementara itu, Riko juga kambali menegaskan aspek yang memperparah kebakaran hutan dan lahan gambut di Raiu.
“Pertama, pemberian izin atau konsesi bagi pemilik perkebunan kelapa sawit dan usaha skala besar lainnya di ekosistem gambut. Dimana atas izin tersebut, pemilik perkebunan bisa melakukan perluasan wilayah atau ekspansi dengan mengalihfungsikan lahan gambut menjadi lahan kering sehingga bisa ditanami pohon,” jelasnya.
Adapun yang kedua menurut Riko adalah kelalaian sekaligus ada unsur kesengajaan baik dari pemerintah selaku pemberi izin maupun dari pemilik perusahaan. Dimana ekspansi-ekspansi yang dilakukan akhirnya menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Hal yang demikian, rupanya perlindungan dari penegak dan pengawas hukum belum optimal atas pelaku pembakaran. “Kemudian saling lempar tanggungjawab atas siapa pelaku pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat dari adanya celah hukum,” kata Roko lebih lanjut.
Namun yang pasti, tegas Riko, dalam kasus kabut asap, ada ketimpangan penguasaan lahan di wilayah-wilayah kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, imbuhnya, Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan tidak berkolerasi positif terhadap penanganan secara langsung terhadap kejadian kebakaran lahan di konsesi perkebunan kelapa sawit.
Dalam pada itu, perusahaan sudah terlanjur melakukan atas izin atau hak konsesi yang diberikan. “Namun demikian, harusnya perusahaan bisa menjaga konsesi tersebut. Supaya kekabaran di lahan gambut tidak terjadi. Namun faktanya tidak dijaga konsesi itu,” ucap dia.
Solusi yang Riko rekomendasikan adalah pertama, pemerintah semestinya tidak hanya berbicara soal perbaikan tata kelola sumber daya alam di wilayah lahan gambut berapi dan berasap itu. Tetapi lebih pada bagaimana melakukan langkah-langkah konkret bersama dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lahan gambut itu.
“Kedua, tentu saja melakukan pemadaman secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Artinya, pemerintah tidak melakukan pembiaran atau mencari siapa yang bertanggung jawab, sebab sudah jelas faktor-faktor kebakaran yang terjadi,” lanjut Riko.
Dan yang ketiga, melakukan pemulihan terhadap lahan gambut yang telah dirusak dengan pengeringan yang bahkan sebagian sudah terbakar. Salah satunya dengan membuat kanal-kanal supaya lahan gambut kembali basah dan tidak lagi terjadi kebakaran di masa yang akan datang. “Walaupun pada kenyataannya hal itu terlalu sulit dilakukan, lantaran para cukong dan/atau perusahan yang berkepentingan tetap butuh lahan tambahan untuk lahan perkebunan,” pungkasnya. (Sulaiman)