NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum Serikat Tani Nasional, Ahmad Rifai mengingatkan sertifikasi tanah (sertifikat tanah) adalah political will dalam pelaksanaan reforma agraria. Pasalnya, sertifikasi dapat berdampak pada liberalisasi atau hanya memperjelas posisi tanah dan mengurangi konflik.
“Namun, apabila suatu saat tidak produktif akan jatuh pada pemilik modal,” kata Rifai dalam sebuah diskusi Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaenis bertajuk Pelaksanaan Reforma Agraria Pada Era Jokowi-JK pada akhir pekan ini.
Baca juga: Serikat Petani Indonesia Setuju Ide Jokowi Lahan Sawit Ditanami Pete dan Jengkol
Bagi-bagi sertifikat tanah yang gencar di era kepemimpinan Jokowi-JK, kata dia, sebenarnya merupakan bagian akhir dari reforma agraria.
“Memang tidak mudah melaksanakan reforma agraria secara menyeluruh atau bahkan hanya menyalahkan Jokowi, karena reforma agraria hanya dapat di jalankan dalam pemerintahan progresif revolusioner dan catatan sejarah sejak UU Pokok Agraria,” papar dia.
“Tantangan dalam menjalani reforma agraria tidaklah semudah sebagaimana bunyi-bunyian atau teori yang normatif, saya melihatnya pemerintah saat ini menjalankan reforma agraria dengan pendekatan yang soft, moderat dan mulai dari pinggir untuk menghadapi penguasaan sumber daya agraria oleh segelintir orang,” sambung Rifai.
Baca juga: Hari Tani Nasional, Fahri Hamzah: Bagi-bagi Sertifikat Tanah Bukan Kebijakan Baru
Dalam kesempatan sama, Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia Susilo Eko Prayitno menambahkan reforma agraria bukan semata-mata membagikan tanah-lebih yang dikuasai negara kepada rakyat atau pembuatan sertifikat tanah.
“Melainkan keseluruhan kegiatan untuk membentuk aset produktif yang dapat dijadikan sumber penghidupan, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial, serta menjadi bagian dari proses pembentukan karakter bangsa dalam kehidupan bernegara,” papar Eko.
Sebab, kata dia, sebagian besar lahan yang dipercayakan untuk dikelola adalah tanah lebih atau belum produktif, maka inisiasi berkelompok dapat diarahkan pada bentuk bangun usaha koperasi berupa koperasi pertanian, koperasi perkebunan, koperasi perhutanan, ataupun koperasi industri.
“Bangun usaha koperasi-koperasi yang terutama dikembangkan di perdesaan dapat menjadi jalan baru untuk semakin berdaya secara ekonomi dan rakyat di perdesaan bisa mempunyai penghidupan yang layak. Oleh karenanya langkah yang dilakukan saat ini walau masih parsial namun sudah ada political will dalam pelaksanaan reforma agraria ujar Pegiat dan Pendamping Koperasi Pertanian ini,” terangnya.
Baca juga: Konsorsium Pembaharuan Agraria Sebut Pembagian Sertifikat Tanah Perlu Dikritisi Bersama
Eko menjelaskan stagnasi atas pelaksanaan UUPA/1960 seringkali dipertentangkan dengan kepentingan yang dikandung dalam UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Oleh karenanya, kata dia, penyelenggara negara saat ini dapat disebut mempunyai hutang kepada rakyat yang harus ditebus, yaitu reforma agraria.
“Semua pihak tanpa kecuali harus bekerja keras dan lebih kooperatif untuk mewujudkan amanat negara ini menjadi pembentukan aset nasional yang dikelola oleh rakyat hingga mencipta nilai tambah, meningkatkan keberdayaan dan turut membangun perekonomian,” urainya.
Baca juga: Ferry Juliantono: Dunia Politik Jalur Strategis untuk Wujudkan Cita-cita Para Pendiri Bangsa
Eko menambahkan, banyak hal yang harus diselesaikan dan banyak pihak harus turut mengambil peran dan tanggung jawab agar rekonstruksi sosial melalui reforma agraria berjalan lebih baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Keterbatasan yang dimiliki oleh para penerima hak kelola atas tanah, misalnya dalam program perhutanan sosial, sebagai bagian dari reforma agraria, tentu membutuhkan pendampingan intensif dan harus dilakukan interaksi lebih dalam agar sumberdaya yang dikelola dapat termanfaatkan,” papar Eko.
(eda/gdn)
Editor: Gendon Wibisono