EkonomiPolitik

Hari Tani Nasional, Fahri Hamzah: Bagi-bagi Sertifikat Tanah Bukan Kebijakan Baru

Presiden RI, Joko Widodo saat penyerahan Serifikat Izin Pengelolaan Hutan di Desa Wungu, Kab. Madiun. Foto: Dok. Istimewa/ Yudie
Presiden RI, Joko Widodo saat penyerahan Serifikat Izin Pengelolaan Hutan di Desa Wungu, Kab. Madiun. (Foto: Dok. Istimewa/Yudie)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan 75 persen masalah kebangsaan berpangkal pada ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah.

“Hari ini 24 September, hari bagi hak-hak petani, dan sebagai anak yang dibesarkan dari jerih keringat seorang ayah yang petani, saya mengucapkan selamat Hari Tani 2018, 75% masalah kebangsaan kita berpangkal pada ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah. Tanggal 24 September kita peringati sebagai hari raya petani Indonesia, Presiden Sukarno melalui Kepres menjadikan tanggal disahkannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai harinya kaum tani Indonesia,” kata Fahri dikuti dari lamannya, Jakarta, Senin (24/9/2018).

Baca juga: Program Bagi-bagi Sertifikat Tanah Jokowi Tahun 2017 Habiskan Dana RP 6,3 Triliun, Apakah Sesuai Target?

Fahri menjelaskan, alasan mengapa pengesahan UUPA dijadikan hari tani karena objek dari apa yang disebut dalam pembukaan UUD 1945 “…sebesar-besarnya kemakmuran rakyat..” sebagai amanah pengelolaan agraria dalam konstitusi adalah petani.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

“Pertanian adalah ruang di mana mayoritas rakyat bekerja,” ucapnya.

Politisi PKS ini mengungkapkan bahwa UUPA disusun sejak tahun-tahun awal kemerdekaan hingga tahun 1960.

“Para pendiri bangsa menujukkan kelasnya dalam perdebatan ideologis tentang cara pandang melihat manusia dan tanah, melalui UUPA mereka lakukan pembaruan dari hukum agraria kolonial menjadi hukum agraria nasional,” ungkapnya.

Menurutnya, struktur kepemilikan dan penguasaan yang berkeadilan sosial merupakan esensi Indonesia merdeka.

Baca juga: Soal Kebijakan Agraria, NU Usulkan Redistribusi Tanah untuk Rakyat

“Para penjajah mengangkangi harta milik rakyat termasuk tanah. Kini setelah merdeka, saatnya kepemilikan dikembalikan kepada rakyat Indonesia,” katanya.

Fahri melanjutkan isu reforma agraria memang lebih banyak didorong oleh gerakan petani. Gerakan petani di Indonesia usianya setua usia pergerakan kemerdekaan.

“Ingatan kita segera menoleh pada peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 sebagai tonggak awal gerakan rakyat,” tuturnya.

Dia melanjutkan, keengganan pemerintah memehami denyut nadi gerakan tani telah melahirkan kebijakan yang salah kaprah.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

“Seperti sertifikasi tanah rakyat melalui PTSL, ini jelas bukan peta jalan reforma agraria, tak ada yang baru dan otentik dari Presiden Jokowi dalam kebijakan tersebut,” sebutnya.

“Saya perlu mengingatkan untuk berhati-hati dengan sertifikasi tanah, karena kebijakan itu akan mengintegrasikan tanah rakyat dengan pasar modal via jaminan/gadai dan jual beli. Jangan sampai sertifikat dibuat untuk memudahkan transaksi kepemilikan,” sambungnya.

Baca juga: Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Bualan atau Harapan?

Menurutnya, reforma agraria itu bicara redistribusi tanah. Bukan sekadar legislasi tanah dengan program bagi-bagi sertifikat tanah yang memang sudah dikuasai rakyat. Sebab, konsep tanah sebagai milik rakyat harus mendasar pada keberlanjutan hidup dan kepemilikan.

“Fokus Pak Jokowi pada seremoni yang menjadi ritus bagi-bagi sertifikat, telah membuat program reforma agraria kita dipimpin pasar. Dan kita dengan jelas bisa melacak dasar pikiran dari tindakan ini, intelektualnya ada, seperti Hernando De Soto,” papar Fahri lagi.

Baca Juga:  Khofifah Effect, Warga NU dan Muhammadiyah di Jatim Dukung Prabowo-Gibran

Dia mengakui, program bagi-bagi sertifikat memang melahirkan tepuk tangan, dan susah dibantah bahwa tindakan itu membuat rakyat senang dan histeris. “Tapi cobalah kita sedikit berpikir, bagi-bagi sertifikat itu tak membuat perubahan angka gini rasio kepemilikan tanah, ketimpangan tetap menganga,” katanya.

“Sampai 2018 kita masih melihat gini rasio kepemilikan tanah di angka 0,58% yang artinya 1% penduduk menguasai 58% sumber daya agraria produktif, sisanya adalah memang lahan yang belum diidentifikasi,” tambah politisi PKS.

“Kini kita menunggu presiden Jokowi benar-benar meredistribusikan tanah untuk petani dan masyarakat tak bertanah lainnya. Bukan sekedar memberikan sertifikat pada tanah rakyat, tapi memberikan rakyat tanah, maka kita menunggu janji Perpres Reforma Agraria disahkan,” paparnya lagi. (gdn/anm)

Editor: Gendon WIbisono

Related Posts

1 of 3,170