NUSANTARANEWS.CO – Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat bersama ribuan pekerja jalan tol dan ratusan ribu buruh menggelar aksi untuk rasa di beberapa lokasi, antara lain di Kementerian BUMN dan Istana Negara.
Aksi ribuan pekerja jalan tol itu dimaksudkan untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap rencana Pemerintah yang akan melakukan otomatisasi gardu tol di seluruh Indonesia. Demikian kata Mirah Sumirat yang juga Presiden Serikat Karyawan Jalantol Lingkarluar Jakarta (SKJLJ) lewat keterangan tertulis yang diterima nusantaranews, Kamis (29/9).
“Aksi ini dilakukan karena Pemerintah tidak merespon tuntutan ASPEK Indonesia dan Aliansi Pekerja Jalan Tol Seluruh Indonesia (APJATSI) untuk menghentikan rencana otomatisasi gardu tol, yang akan berdampak pada PHK puluhan ribu pekerja tol di seluruh Indonesia,” terang Mirah Sumirat.
Menurut Mirah, pemerintah yang seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin pekerjaan yang layak, justru menjadi eksekutor ter-PHK-nya puluhan ribuan pekerja tol. “Dampak PHK massal tentunya juga akan dirasakan oleh keluarga pekerja. Dimana keberpihakan Pemerintah terhadap rakyatnya?,” tanya Mirah.
Jangan hanya karena ingin mengejar kepentingan bisnis semata, tegas Mirah, sehingga melupakan kewajiban Negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Keuntungan perusahaan pengelola jalan tol sesungguhnya sudah sangat tinggi. Sehingga tidak ada alasan untuk mem-PHK pekerjanya, apalagi dikemas dalam bentuk kebijakan otomatisasi gardu tol yang disebut sebagai efisiensi,” tegas Mirah lagi.
Lebih lanjut dia menyebutkan bahwa, ASPEK Indonesia dan APJATSI menuntut Pemerintah, dalam hal ini Presiden, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN, untuk: (1) Menghentikan rencana otomatisasi gardu tol di seluruh Indonesia, yang berkedok efisiensi. Dan (2) Tidak melakukan PHK terhadap para pekerja di jalan tol.
“Data BPS tahun 2015 pengangguran di Indonesia sudah berjumlah 7,7 juta orang. Jangan tambah lagi!,” tegas Mirah lagi.
Para pekerja jalan tol yang tergabung dalam APJATSI datang dari perusahaan pengelola jalan tol, baik BUMN, anak perusahaan BUMN maupun swasta.
Dalam aksi hari ini, Mirah kembali mengingatkan kepada masyarakat untuk mewaspadai “pengambilan paksa” dana masyarakat berkedok otomatisasi gardu tol. Mirah menjelaskan bahwa pemilik & pengguna kartu e-toll, tanpa sadar sesungguhnya telah “diambil paksa” uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu e-toll.
“Apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp.50.000,- sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp.30.000,-. Kemana selisih uang yang Rp.20.000? Konsumsen “dipaksa” untuk merelakan kehilangan dananya, bahkan sebelum kartu e-toll digunakan untuk transaksi!,” serunya.
Dengan tidak adanya gardu tol manual yang dioperasikan oleh pekerja gardu tol, lanjut Mirah, maka secara tidak langsung pengguna jalan dipaksa untuk membeli kartu e-toll & dipaksa untuk merelakan kehilangan uangnya dengan dalih biaya administrasi/biaya kartu e-toll.
“Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem full GTO ini? Kondisi ini jelas-jelas membuat pengguna jalan tol sebagai konsumen diperlakukan tidak adil, bahkan bisa dikatakan “dicurangi” oleh sistem bisnis antara perusahaan pengelola jalan tol dengan perbankan yang menerbitkan kartu e-toll. Ketika perusahaan pengelola jalan tol hanya menyediakan gardu tol otomatis tanpa menyediakan gardu manual, apakah itu bukan paksaan kepada konsumen pengguna jalan tol? Pengguna jalan tol sebagai konsumen tidak diberikan pilihan dalam mendapatkan pelayanan tol,” pungkasnya. (Sule/Restu)