NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerintah pusat dinilai bertindak arogan dan menggunakan tangan besi kekuasaan terkait penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang menggunakan PP 78/2015.
Diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, UMP tahun 2019 naik menjadi 8,03 persen. Para buruh menilai PP No 78 tahun 2015 itu bertentangan dengan Undang Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kebijakan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur penetapan upah minimum melalui mekanisme survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Bukan inflasi plus pertumbuhan ekonomi yang tidak diatur dalam UU 13/2003,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Baca juga: Asosiasi Pekerja Sebut Pemerintah Lebih Pro Pemodal di Balik Upah Minimum 8,03 Persen
Pemerintah pusat disebut arogan dan menggunakan tangan besi lantaran mengancam akan memberhentikan para kepala daerah jika tidak menggunakan PP No 78 tahun 2015 dalam penetapan UMP dan UMK.
“KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menyiapkan aksi lanjutan di seluruh Indonesia untuk menolak PP 78/2015 yang dijadikan dasar penetapan upah minimum dan menolak penetapan UMP/UMK yang hanya 8,03% karena akan memberatkan biaya hidup buruh dan masyarakat kecil yang saat ini saja daya belinya sudah menurun akibat kenaikan biaya listrik, sewa rumah, dan biaya kehidupan sehari-hari. Belum kalau nanti harga premium dinaikkan,” papar Said Iqbal.
Dia menegaskan, buruh KSPI akan melakukan perlawanan jika para kepala daerah, khususnya gubernur, menggunakan PP No 78 tahun 2015 dalam membuat kebijakan soal pengupahan.
“KSPI dan buruh Jakarta akan menolak dan melakukan langkah-langkah organisasi guna melakukan perlawanan atas kebijakan tersebut,” tegasnya.
Pewarta: Banyu Asqalani
Editor: Gendon Wibisono