NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Himpunan Aktivis Milenial (HAM) Indonesia menggelar Seminar Nasional bertajuk ‘Pesantren dan Demokrasi: Kaji Ulang Santri Post-Islamisme Sandi’ di Convention Hall Lantai 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu, (13/10).
Duduk sebagai pemateri di antaranya Mohammad Yasser Arafat, Fathurrahman Ghufron dan Gugun el-Guyanie. Hadir dalam kesempatan tersebut diantaranya Koordinator Nasional HAM Indonesia, Asip Irama; Wakil Koordinator Nasional HAM Indonesia, Mohammad Kayyis AR; Sekjen HAM Indonesia, Muchlas Jaelani serta Koordinator Wilayah HAM Indonesia Yogyakarta, Achmad Naufel dan berbagai mahasiswa lintas perguruan tinggi di kawasan Yogyakarta.
Kecelakaan Simbolik
Sementara itu, Antropolog alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Mohammad Yasser Arafat menyebut penyematan santri-post Islamisme kepada Sandiaga Uno dalam perspektif antropologi bentuk kecelakaan simbolik.
Yasser menjelaskan, santri memiliki sejarah dan perjalanan panjang. Santri dan ulama memiliki makna tersendiri sesuai dengan sejarah dan budaya di Indonesia. Kehadiran santri dan ulama sudah ada sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sehingga ia menilai ketika ada penyematan santri terhadap orang yang belum pernah mengenyam pendidikan pesantren cukup aneh dan cenderung dipaksakan. Sebab tidak sesuai dengan kenyataan sosial di masyarakat.
“Santri dalam terminologi paling sederhana mereka yang pernah mondok di pesantren, mengaji kitab kuning kepada kiai, salawatan, ikut ziarah kubur dan senang memakai sarung. Namun ada yang lebih penting dari itu, nilai-nilai kesantrian harus menginternal dalam jasad yang terejawentahkan melalui tindakan sehari-hari,” jelasnya.
“Wajar jika para santri, terutama di media sosial protes ketika Sandiaga Uno disebut santri post-Islamisme. Karena Sandiaga Uno tidak pernah punya pengalaman sebagaimana lazimnya terjadi kepada santri. Sehingga penyematan santri post-Islamisme kepada Sandiaga Uno adalah praktek kawin paksa,” jelas pria yang konsen pada kajian Islamic Studies tersebut.
Tindakan PKS sebut Yasser, bagian dari kecelakaan sejarah dan imajinasi. Menurut Yasser, PKS tidak punya sejarah dalam tradisi Islam di Indonesia. Akibatnya, sanad keislamanan PKS jadi kurang jelas.
“ini simbol yang dipaksanakan. Karena jika dirunut dalam kronogis historisnya, PKS tidak punya sanad yang jelas dalam sejarah perjalanan Islam di Indonesia. Tetapi analis ini bukan atas dasar kebencian, melainkan bagian dari potret secara ilmiah terhadap peristiwa itu,” tegas Yasser.
Tidak Memiliki Dasar Geneologi Keagamaan
Wakil Khatib Syuriah PWNU Yogyakarta, Fathurrahman Ghufron mengatakan post-Islamisme cenderung menolak ideologi yang digunakan banyak negara.
“Mereka memiliki prinsip tidak ada kesejahteraan kalau tidak menggunakan kitab suci, akibatnya mereka menutup diri pada pertumbuhan ideologi-ideologi baru. Intinya mereka menginginkan semua sendi kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus merujuk kepada Islam,” tegas Fathurrahman.
Menurut Fathurrahman, Islam sebagai sebuah gerakan di banyak negara selalu resisten, karena ketika berhadapan dengan konspirasi global, cenderung kurang diterima masyarakat.
“Itulah sebabnya, post-Islamisme sejatinya tidak memiliki geneologi keagamaan yang jelas, sedangkan santri memiliki kecenderungan menerima keragaman dan toleransi. Jadi ketika dua konteks ini dipadukan tidak nyambung. Sehingga dalam kasus santri post-Islamisme Sandiaga Uno karena dianggap kawin paksa, wajar jika pada akhirnya akan cepat bercerai,” imbuh pria yang sedang menempuh pendidikan doktoral di UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Post-Islamisme Inisiator Perda Syariah
Sementara itu, Pengurus Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Yogyakarta, Gugun el-Guyanie menegaskan kelompok post-Islamisme lazimnya menerima dan berkompromi dengan demokrasi, tetapi akan menggunakan cara-cara radikal ketika sudah masuk Parlemen.
“Akibatnya dalam banyak hal, post-Islamisme cenderung menjadi inisiator lahirnya perda syariah. PKS sebagai partai politik yang getol berbicara post-Islamisme sering menjadi pelopor munculnya perda syariah, padahal selama ini PKS tidak punya kekuatan besar di Parlemen, tetapi karena mereka didukung kelompok penekan, dengan mudah perda syariah itu bisa lolos,” kata alumnus Hukum Tata Negara UGM Yogyakarta tersebut.
Gugun juga menganggap jika gejala post-Islamisme merupakan ancaman nyata terhadap ideologi Pancasila, karena mereka cenderung ‘mengkafirkan’ ideologi yang berlawanan dengan paham mereka.
“Oleh karena itu, dalam kasus Sandiaga Uno karena ada perbedaan paham antara post-islamisme dengan santri, mau dipaksanakan dengan cara apapun, ujungnya pasti gagal,” tandas Gugun.
(ktbr/nvh)
Editor: Ani Mariani