NUSANTARANEWS.CO – Hawa pemilu semakin panas. Suara milenial semakin gencar menjadi bahan perebutan. Segala persiapan tengah dilakukan tim pemenangan. Calon petahana lebih banyak diuntungkan. Sebab, dia lebih dulu populer dibandingkan calon sebelah. Citra–citra positif pemerintah pun dibangun ulang. Mulai tayangan iklan hingga tampilan milenial.
Tak mau kalah, calon oposisi melakukan gerakan berbeda. Penunjukkan Sandiaga Uno mendampingi Prabowo memaksa kubu petahana meracik susunan tim pemenangan agar mampu mengimbangi daya pikat Sandi. Ditunjuklah Erick Thohir sebagai ketua timses. Pengusaha muda dan sukses. Langkah itu dilakukan untuk mengimbangi sosok Sandi demi menutupi kekurangan pasangan capres dan cawapres kubu Jokowi. Tujuannya, memberi pilihan segar bagi kaum milenial terhadap kedua pasangan calon.
Diketahui, 30% dari penduduk Indonesia adalah generasi milenial. Untuk Pemilu 2019, ada 187.781.884 orang yang masuk daftar pemilih tetap dengan rincian 185.732.093 pemilih dalam negeri dan 2.049.791 dari WNI di luar negeri. KPU menyatakan, pemilih dari kalangan muda (maksimal 35 tahun untuk April 2019) ada 79 juta orang. Pemilih muda yang berjumlah 79 juta itu tentu tak akan dilewatkan oleh kedua paslon.
Merebut hati dan menarik simpati mereka adalah perkara wajib. Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Bangka Belitung, Ibnu Hajar mengatakan mereka mewakili genre baru wajah para pemilih. Pemilih milenial juga mudah berubah ke lain hati, apalagi bila menemukan figur yang baru muncul dengan ketenaran. Karena kunci dalam menaikkan elektabilitas adalah mampu menarik simpati para generasi milenial.
Strategi menjaring suara pemilih muda pun digencarkan. Sebab, jiwa–jiwa muda ini dinilai masih bersih dari kepentingan apapun. Idealisme tinggi dan sulit ditebak. Ada yang kritis, ada pula yang apatis. Ada yang pendiam, ada pula yang lantang. Maka, untuk merangkul mereka nampaknya para timses harus memutar otak agar kaum milenial tertarik terlibat dalam pemilu serta memilih jagoannya.
Setiap hajatan pemilu kaum milenial senantiasa dibidik. Setiap hal yang digandrungi kaum muda pun akan dilakoni. Cara berpakaian, hobi atau kegemaran mereka, serta cara berkomunikasi menjadi garapan bagi timses paslon demi menggaet suara milenial.
Ide ‘mendandani’ Kiai Ma’ruf agar terlihat lebih muda sempat terlintas di benak timses Jokowi. Dari aksi ala geng motor hingga rutinitas berolahraga tak luput disorot dengan berbagai sudut pandang yang pas. Bergaya bak boyband korea pun ditiru. Sebab, kaum milenial cenderung memilih sosok yang mirip dengan idola mereka. Agar kaum milenial berpikir bahwa calon pemimpinnya berjiwa muda, modern, dan kekinian. Seruan ‘jangan golput, gunakan hak pilihmu’ juga cukup menggema di kalangan milenial. Berharap kaum milenial tak lagi apatis serta minimalis pada pemilu nanti.
Kemudahan informasi dan teknologi saat ini membuat kaum milenial tak lagi sulit mengikuti dinamika politik. Mulai dari sosok, mental kepemimpinan, penampilan hingga adu program pasti menjadi perhatian mereka. Sekedar pencitraan nampaknya mulai tak laku. Mereka butuh penyegaran ide dan inovasi. Generasi milenial lahir dari beragam latar usia. Pelajar, mahasiswa, pengusaha, intelektual, dan lainnya. Kerap kali mereka hanya dijadikan obyek politik, bukan subyek. Artinya, mereka didekati hanya untuk memenangkan suara.
Perubahan ada di tangan kaum milenial. Jangan memilih pemimpin seperti kucing dalam karung. Terjebak dengan buaian citra dan janji manis kampanye. Setidaknya, kaum milenial harus kritis dan jeli melihat situasi politik. Kritis mengontrol dan mengoreksi kebijakan penguasa. Jeli melihat dan mencium gelagat kedzoliman yang dilakukan penguasa. Tidak mudah tergiur dengan jamuan makan dan pemberian hadiah. Apalagi sekedar tampilan kekinian yang meng’copy – paste’ artis idola. Pemilih milenial adalah pemilih dengan intelektualitas dan idealisme yang masih murni dari kepentingan politik tertentu. Tetap waspada.
Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban