NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tren nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahahan, meski suku bunga BI telah dinaikkan mencapai 4,5%. Bahkan dalam penutupan pasar spot, Senin siang, 21 Mei 2018, rupiah anjlok dan nyaris tembus Rp.14.200.
Bloomberg Dollar Index, pada 21 Mei 2018 merilis bahwa hanya butuh satu digit lagi, mata uang Indonesia masuk 14.200. Bloomberg mengumumkan, rupiah pada perdagangan spot exchange melemah mencapai 43 poin atau 0,30% ke level Rp14.199 per USD. Dimana rupiah bergerak pada kisaran Rp14.175-Rp14.199 per dollar Amerika Serikat.
Sementara itu berdasarkan catatan dari Yahoo Finance menunjukkan rupiah turun 35 poin atau 0,24 persen ke Rp14.185 per dolar AS pada 21 Mei 2018. Saat bel pembukaan perdagangan, rupiah dibuka ke Rp14.148 per dolar AS. Posisi di akhir sesi kemarin, rupiah sempat menetap ke Rp14.150 per dolar AS. Rata-rata pergerakan rupiah hari ini, yakni Rp14.148-14.185 per dolar AS.
Kenaikan suku bunga yang kemudian tak memberikan efek terhadap penguatan nilai tukar rupiah menurut Ekonom Indef Bhima Yudistira Adhinegara dikutip dari Bisnis menjelaskan bahwa melemahnya rupiah menurutnya karena BI terlalu terlambat. Bhima Yudistira (18/5/2018) menjelaskan, sebelumnya investor sudah melakukan price in atau antisipasi kebijakan bunga acuan ke harga saham.
Baca Juga:
Pengamat: Ada Kesan Kuat Pemerintah Menikmati Pelemahan Rupiah
Pada kesempatan berbeda, Gubenur BI Agus Martowardojo menanggapi pelemahan rupiah setelah kenaikan 7-Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal, tapi juga faktor internal. Terutama defisit neraca perdagangan.
“Ini reaksi pelaku usaha melihat dari sektor ekonomi kita,” kata Agus, pada 18 Mei 2018 lalu. Situasi ini menunjukkan bahwa kredit di dalam negeri sesungguhnya tak bertumbuh. Dengan kata lain ada problem dengan permintaan di dalam negeri. Hal ini yang mestinya segera diselesaikan.
Pengamat politik dari AEPI (Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia), Salamuddin Daeng, menyoroti bahwa tren melemahnya rupiah terhadap dolar AS menurut dia diantaranya dipengaruhi oleh politik Anggaran Pemerintah yang bersandar pada utang dalam dolar Amerika Serikat.
Bahkan dirinya menilai dalam politik anggaran tersebut, ada kesan kuat bahwa pemerintah menikmati pelemahan rupiah. “Sebagai ilustrasi, jika target utang pemerintah sebesar USD 35 miliar, maka pada kurs Rp. 13000/USD maka nilai penerimaan utang sebesar Rp. 455 triliun. Kalau kurs Rp. 14000 nilai penerimaan utang menjadi Rp. 490 triliun, jika kurs sebesar RP. 14500/USD maka nilai penerimaan utang 507 trilin. Dan seterusnya,” ungkap Daeng, pada 9 Mei 2018 lalu.
Editor: Romandhon