Politik

Pengamat: Ada Kesan Kuat Pemerintah Menikmati Pelemahan Rupiah

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng. (Foto:: Nusantaranews.co/Achmad S)
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng. (Foto: Nusantaranews.co/Achmad S)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Selain dipengaruhi adanya defisit terhadap neraca transaksi berjalan serta pembengkakan bunga utang, beberapa faktor seperti politik ekonomi pemerintah dinilai oleh pengamat politik dari AEPI (Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia), Salamuddin Daeng, turut andil besar dalam mempengaruhi tren melemahnya rupiah terhadap dolar AS.

Dirinya menjelaskan, pertama politik Anggaran Pemerintah yang bersandar pada utang dalam dolar Amerika Serikat. “Sehingga ada kesan kuat bahwa pemerintah menikmati pelemahan rupiah. Sebagai ilustrasi, jika target utang pemerintah sebesar USD 35 miliar, maka pada kurs Rp. 13000/USD maka nilai penerimaan utang sebesar Rp. 455 triliun. Kalau kurs Rp. 14000 nilai penerimaan utang menjadi Rp. 490 triliun, jika kurs sebesar RP. 14500/USD maka nilai penerimaan utang 507 trilin. Dan seterusnya,” ungkap Daeng, dikutip dari keterangan persnya, Rabu (9/5/2018).

Kedua, mengenai penerimaan dari sektor migas. Menteri Keuangan Sri mulyani beberapa waktu lalu menyatakan bahwa setiap kenaikan satu dolar harga minyak akan meningkatkan APBN netto 1 (satu) triliun rupiah. “Bayangkan jika bersamaan dengan peningkatan kurs, tentu nilainya akan lebih besar,” sambungnya.

Baca Juga:  Mulai Emil Hingga Bayu, Inilah Cawagub Potensial Khofifah Versi ARCI

Baca Juga:
Window Dressing, Bukti Sri Mulyani Politisi
Sistem Ekonomi Antagonistik, Pemerintah Versus Rakyat
Mengenai Korupsi Kondesat, Uangya Dinilai Bisa Tutupi Devisit Negara

Ketiga, adanya motif meningkatkan penerimaan pajak yang akan diperoleh dari eksportir komoditas. Jika nilai tukar rupiah melemah maka penerimaan eksportir meningkat. Dengan demikian maka pajak yang diterima dari perusahaan eksportir akan meningkat, termasuk juga penerimaan pemerintah dari bea keluar.

Keempat, motif yang sama juga ditujukan kepada para importir yang juga diharapkan membayar pajak lebih besar. Karena pada jumlah impor yang sama, nilai impor lebih besar. Maka pajak yang akan dibayar kepada pemerintah juga lebih besar termasuk pajak bea keluar. Jadi depresiasi semacam ini akan untungkan pemerintah.

Kenam, adanya motif para pemain valuta asing di dalam oligarki pemerintahan yang memanfaatkan pelemahan kurs untuk kepentingan akumulasi kekayaan secara pribadi dan kelompok. Itulah mengapa publik tidak pernah tau berapa nilai keseimbangan kurs yang diinginkan pemerintah sendiri? Ini adalah rahasia pemerintah dan bank Indonesia. Apakah mereka bebas dari motif pribadi mencari untung bagi dirinya atau untuk memperkaya koleganya ?

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

“Jadi, kuat indikasi bahwa pelemahan rupiah adalah disebabkan oleh politik ekonomi internal Indonesia,” tegas Daeng.

Sekitar dua pekan yang lalu (24/4), dalam talk show di salah satu stasiun televisi nasional, pakar filsafat, Rocky Gerung sudah mengingatkan akan situasi terburuk tentang melemahnya rupiah. “Kalau dua minggu ke depan dolar makin berjaya terhadap rupiah! Anggap Rp.15.000, yang logis, yang mungkin terjadi, berubahlah seluruh parametermya (politik),” kata Rocky.

Dirinya menjelaskan Bank Indonesia sudah berkali-kali menurunkan suku bunga, namun dalam kenyataannya kredit di dalam negeri tak bertumbuh. “Artinya ada problem dengan permintaan,” terangnya.

Pewarta: Alya Karen
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,050