Kidung Kartini
Kartini tak pernah ingkar janji
Dengan pena setajam sembilu
Putri Jepara berkebaya biru itu tak pernah berhenti menggambar matahari buat anak-cucu
Bukan surga yang ia cari, apalagi bedak dan gincu.
Dari pantai utara kota Rembang ia berenang hingga ke Negeri Belanda
Menggenggam surat yang lusuh dan basah oleh cita-cita agar dibaca oleh dunia
Masih dengan kain kebaya berwarna biru ia menari di antara karang tanpa wajah murung
Mengibaskan sayap-sayap cinta untuk menaklukkan deru gelombang dan desing peluru
Kartini begitu indah membaca samudera
Lalu puisi demi puisi ditulisnya hingga menjelma mantra
Menggerakkan ribuan layar cahaya hingga berpendar di cakrawala
Dengan akal budi dan gelora zikir bertaburan doa
Kartini memanjat langit hingga menggapai puncaknya
Berbekal rindu untuk merdeka
Kartini muda begitu khusyuk belajar merenda cahaya
Ia memulai sejarah nafasnya dengan membaca Juz Amma
Berbekal itulah ia membangun jembatan emas bagi kaumnya.
Kartini tak pernah patah hati
Tak ada istilah itu dalam kamus hidupnya mengucap benci
Berkalung tasbih ia tegak berdiri dan pantang merintih
Bibirnya tetap menyala walau tanpa lipstick dan gincu.
Jika Kartini adalah diri kita sendiri
Lantas kenapa bangsa ini begitu sulitnya belajar sejarah atau melukiskan cinta dalam puisi?
Gus Nas Jogja, 2017
Kartini tak pernah ingkar janji
Dengan pena setajam sembilu
Putri Jepara berkebaya biru itu tak pernah berhenti menggambar matahari buat anak-cucu
Bukan surga yang ia cari, apalagi bedak dan gincu.
Dari pantai utara kota Rembang ia berenang hingga ke Negeri Belanda
Menggenggam surat yang lusuh dan basah oleh cita-cita agar dibaca oleh Dunia
Masih dengan kain kebaya berwarna biru ia menari di antara karang tanpa wajah murung
Mengibaskan sayap-sayap cinta untuk menaklukkan deru gelombang dan desing peluru
Kartini begitu indah membaca samudera
Lalu puisi demi puisi ditulisnya hingga menjelma mantra
Menggerakkan ribuan layar cahaya hingga berpendar di cakrawala
Dengan akal budi dan gelora zikir bertaburan doa
Kartini memanjat langit hingga menggapai puncaknya
Berbekal rindu untuk merdeka
Kartini muda begitu khusyuk belajar merenda cahaya
Ia memulai sejarah nafasnya dengan membaca Juz Amma
Berbekal itulah ia membangun jembatan emas bagi kaumnya.
Kartini tak pernah patah hati
Tak ada istilah itu dalam kamus hidupnya mengucap benci
Berkalung tasbih ia tegak berdiri dan pantang merintih
Bibirnya tetap menyala walau tanpa lipstick dan gincu.
Jika Kartini adalah diri kita sendiri
Lantas kenapa bangsa ini begitu sulitnya belajar sejarah atau melukiskan cinta dalam puisi?
Gus Nas Jogja, 2017
HM Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional.
Baca juga: Ibu Kita Syahrini – Puisi HM Nasruddin Anshoriy Ch
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]