Budaya / SeniEsai

Puisi Yang Menyegarkan Ruang Publik? (Renungan Akhir Tahun 2017)

NUSANTARANEWS.CO – Mengapa ruang publik kita memerlukan lebih banyak puisi? Mengapa sebaiknya dalam kehidupan sosial tak hanya didominasi oleh kekuasaan politik dan tabel angka ekonomi, namun juga diwarnai oleh gairah, mimpi, dan keindahan puisi?

Apa itu puisi dan apa yang bukan puisi? Apa kriteria penyair dan bukan penyair? Siapa yang berhak memberi label itu? Jika ada yang merasa punya otoritas untuk memberi label, siapa pula yang memberikan otoritas itu padanya?

Haruskah puisi itu tunduk pada pakem dan konvensi tertentu? Dalam dunia imajinasi dan keindahan yang tak terbatas, bukankah aneka pakem dan konvensi itu adalah penjara? Bukankah kategorisasi itu hanya menarik bagi kaum akademisi, dan pengamat yang memang menjadi ladang profesinya? Tapi itu tak relevan bagi seniman yang ekspresif, dan bebas berkarya?

Aneka pertanyaan ini lazim muncul bagi siapapun yang ingin mendalami dan menulis puisi. Apalagi jika ia seorang peneliti. Sebagai peneliti, ia sudah terpola ingin memahami konteks makro dan “sunahtullah,” atau hukum besi yang ada di sebuah dunia sebelum ia memasuki dunia itu.

ibarat ingin melancong, harus ia pahami dulu peta keseluruhannya: hutan belantara, gunung dan lautnya, juga jurang yang menganga, sebelum melangkah menuju sebuah lokasi yang jauh.

Isi puisi, jenisnya, konteksnya, tentu buah batin perjalanan hidup pribadi sang penulis. Namun khusus untuk perjalanan puisi saya, bisa digambarkan panoramanya melalui tiga kutipan ini sebagai konteksnya.

***

Pertama adalah pernyataan John F Kennedy. Ujar Kennedy, jika kekuasaan membuat manusia congkak dan angkuh, puisi mengingatkan keterbatasannya. Jika kekuasaan membuat manusia harus fokus dan menyempitkan hidupnya, puisi mengingatkan keluasan dan kedalaman hidup manusia. Jika kekuasaan cenderung mengotorkan jiwa, puisi membersihkannya.

Kennedy mengingatkan pentingnya peran puisi tak hanya dalam kehidupan pribadi, tapi juga dalam ruang publik. Celaka sebuah negeri jika ruang publiknya hanya dipenuhi oleh berita pertarungan kekuasaan, dan tabel perdagangan.

Ruang publik adalah ruang bagi manusia. Jangan hilangkan fantasi, passion, mimpi, kegelisahan, ketakutan, dan aneka emosi lain yang disumbangkan oleh dunia puisi. Ketika peradaban pertama kali lahir, puisi sangat sentral posisinya, yang tampil dalam bentuk epik, dan filsafat hidup.

Namun apa daya, sejak seratus tahun ini, puisi semakin tersingkir dari ruang publik. Adalah Dana Gioia dan John Barr, tokoh pemikir yang lama berkecimpung dalam puisi tingkat dunia yang menyatakannya.

Ujar Gioia, puisi kini berhenti sebagai agen utama pengubah budaya. Ia hanya beredar di acara kesenian, dan di kalangan sesama penyair serta peminat yang semakin kecil. Bahkan National Book Award di Amerika Serikat sejak tahun 1985 tak lagi punya kategori untuk buku puisi terbaik.

John Barr menambahkan. Puisi semakin dilupakan masyarakat diawali dengan puisi dan para penyair sendiri yang melupakan masyarakat. Apalagi berkembang jenis puisi yang bertekak tekuk dengan permainan kata, yang hanya dimengerti oleh kelompok kecil saja. Masyarakat luas diasingkan dari puisi. Akibatnya masyarakat luaspun mengasingkan puisi.

Tentu dalam dunia yang beragam, kita mengapresiasi aneka genre, pilihan, bentuk ekspresi dari puisi. Itu bukan saja bagian dari hak asasi manusia, namun juga memperkaya taman bunga puisi.

Namun saya memilih sebuah ikhtiar yang ingin mengembalikan puisi ke ruang publik. Pilihan saya, puisi haruslah menjadi medium yang meromantisasi ruang publik agar dunia sosial tak hanya didominasi oleh kosa kata kekuasaan dan tabel angka ekonomi.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Itu tak lain artinya, saya memilih puisi yang mengekspresikan problem zamannya. Kegelisahan, masalah, isu strategis, mimpi, ketakutan masyarakat memerlukan medium puisi untuk ikut menyentuh pikiran dan hati publik luas.

Antara puisi dan isu yang hidup di masyarakat menjadi bersinerji. Isu yang hidup di masyarakat menjadi puisi. Dan puisi dimasukkan ke tengah gelanggang, bahkan ke tengah komunitas pengambil keputusan kebijakan publik untuk ikut menyentuh.

Tapi terlalu besarkah beban itu diletakkan di pundak puisi?

Ketika panglima TNI membacakan kutipan puisi saya di aneka gelanggang politik utama, antara lain Rapimnas Partai Golkar 2017, saya tentu senang. Isu keadilan dan marginalisasi rakyat banyak dalam puisi “Bukan Kami Punya,” dianggap oleh panglima TNI sebagai penambah gelora untuk pidatonya tentang situasi masa kini.

Kisah pembacaan puisi panglima tertinggi militer inipun segera menjadi viral, berita utama televisi dan materi talk show yang diulang-ulang. Puisi kembali masuk ke ruang publik, ke tengah gelanggang, dan meromantisasi diskusi masyarakat luas.

Semakin banyak puisi dikutip dalam gelanggang utama kehidupan, di panggung politik, bisnis, ilmu pengetahuan, mesjid, gereja, semakin baik. Ini pernyataan pertama.

***

Hal kedua yang menjadi renungan saya soal puisi adalah kutipan dari Robert Frost. Ia penyair legenda, tiga puluh satu kali dinominasikan untuk Nobel Sastra, penerima empat kali pulitzer prize untuk sastra dan Congressional Gold Medal dari pemerintah Amerika Serikat karena karya sastra.

Apa itu puisi menurut Robert Frost? Menurutnya puisi itu adalah gairah yang dirumuskan menjadi pikiran, dan pikiran itu kemudian menemukan kata. Itulah puisi. Tak kurang dan tak lebih.

Dalam definisi Frost, puisi itu teramat luas. Penulis puisi, yaitu penyair, bisa siapa saja yang mengekspresikan geloranya dalam pikiran dan kemudian menjadi kata.

Ketika Bob Dylan menulis lagu, ia tak berpikir akan menjadi penyair atau tokoh utama sastrawan. Ia berkarya saja, mengekspresikan kegelisahannya. Ujar Dylan, saya hanya membayangkan alangkan asyiknya jika lagu ini bisa dinyanyikan di kafe apalagi di Carnegie Hall.

Ternyata lirik lagu Bob Dylan dinilai sebagai puisi. Dan ia pun diberikan Nobel Sastra 2016. Oh, ujar Bob Dylan, saya tak menyangka dianggap menulis sastra, bahkan mendapatkan hadiah sastra tertinggi. Membayangkan bahkan selintas saja saya akan mendapatkan Nobel sastra sama anehnya dengan membayangkan saya berdiri di bulan, sambung Dylan.

Hal yang sama terjadi dengan mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. Ia hanya berpidato tentang nilai kemanusiaan yang dirumuskannya seindah mungkin. Kumpulan pidato itu kemudian ia bukukan. Ia juga menuliskan biografi dan pengalamannya selaku saksi sejarah dalam serial buku non-fiksi.

Ketika berpidato atau menulis buku
non-fiksi itu ia tidak berpikir sebagai sastrawan. Namun karya itu dianggap bernilai sastra. Bahkan iapun dianugrahkan nobel sastra tahun 1953.

Apa itu puisi dan bukan puisi? Apa kategori penyair dan bukan penyair? Mengikuti kutipan Robert Frost dan kisah Winston Churchill serta Bob Dylan, itu kategori yang longgar saja.

Sayapun memilih kategori yang longgar tersebut. Penyair selama ini dikategorikan hanya kepada “penyair karir,” mereka yang berprofesi penulis puisi atau yang sebagian besar hidupnya fokus menulis puisi. Bagi saya semua yang pernah merumuskan gelora hatinya dalam bentuk pikiran dan mewujudkannya dalam kata adalah penyair. Yang membedakannya kemudian hanyalah kedalaman dan produktivitas.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Itulah sebabnya secara sengaja dalam gerakan puisi esai, saya mengajak sebanyak mungkin mereka yang selama ini tidak dikategorikan penyair menulis puisi. Mereka: aktivis, pengajar, wartawan, dan sebagainya, terpanggil menulis puisi dan menerbitkannya dalam buku.

Jika dulu Chairil Anwar menyatakan: “Yang bukan penyair, tidak ambil bagian.” Gerakan puisi esai justru sebaliknya; “Yang bukan penyair (definisi penyair karir), boleh ambil bagian. Puisi agar hidup jangan diasingkan hanya untuk para penyair karir saja.

Dari gerakan puisi esai itu, terbitlah sekitar 50 buku, baik satu buku berupa kumpulan penyair, atau satu buku ditulis oleh satu penyair saja. Dari segi kuantitas, lebih dari 50 buku puisi terbit dalam kurun waktu kurang dari 6 tahun, itu sudah sesuatu. Soal kualitasnya, biarlah publik luas yang menilai.

Semakin banyak puisi ditulis bukan oleh penyair karir, tapi oleh beragam warga, semakin yang “bukan penyair karir” ambil bagian, semakin baik. Itu pernyataan kedua.

***

Hal ketiga yang mempengaruhi saya adalah kutipan Jalaluddin Rumi. Ujarnya, menyanyilah dirimu seperti burung yang berkicau. Tak usah hirau apa yang orang pikirkan. Ekspresikan saja sesuai dengan hatimu dan kesadaranmu.

Saya membaca munculnya banyak aliran dalam dunia seni, terutama lukisan. Awalnya seni lukis hanya memindahkan realitas ke atas kanvas. Namun sejak era modern, berkembang puluhan bahkan lebih dari seratus aliran (ism).

Dalam lukisan misalnya muncul mulai dari realism, surealism, impresionism, cubism, dan banyak lagi lainnya. Hal yang sama dalam dunia musik. Selepas dari musik klasik, muncul pop, rock, blues, country, waltz, dan sebagainya.

Apa yang dapat dipelajari dari
munculnya banyak genre, style, tradisi, dan ism dalam dunia seni? Rasa keindahan itu kebutuhan yang permanen dalam syaraf manusia. Namun ekspresi keindahannya terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Genre, aliran, pakem, aturan tentu penting. Namun aneka konvensi itu tak ditulis di batu, dan jangan diperTuhankan. Terbukti dalam sejarah kesenian, tersedia begitu banyak kuburan kesenian yang dulu populer kini mati. Atau tumbuh lagi jenis seni yang dulu tak ada, kini ada.

Pembagian dunia sastra dalam puisi versus prosa sah saja sebagai titik tolak. Namun kategorisasi itu di era post-modern semakin cair dengan berkembangnya puisi yang prosais, atau prosa yang puitik.

Bahkan pembagian fakta dan fiksi juga semakin longgar. Tentu ada tulisan yang sepenuhnya faktual seperti riset ilmu alam. Atau tulisan yang sepenuhnya fiksi seperti kisah dongeng dunia peri. Namun sekali lagi dalam dunia postmodern, pembagian itu juga kian longgar.

Kini berkembang pula yang bernama historical fiction, yaitu kisah yang berdasarkan setting sejarah tertentu yang memang ada. Tapi drama yang diekspresikan di sana sebagian difiksikan. Antara fakta dan fiksi bercampur.

Ini pula yang awalnya mendasari saya membuat gerakan puisi esai. Ia esai yang puitik, dan puisi yang beraroma esai. Ada plot dalam puisi itu layaknya cerpen atau prosa, tapi dalam bentuk puisi. Ada fiksi di sana, tapi ada pula catatan kaki yang merujuk pada kejadian yang sebenarnya.

Pola puisi ini lebih sesuai dengan kondisi kesadaran saya sendiri. Saat itu saya banyak melakukan riset yang acapkali memerlukan catatan kaki. Sayapun menjadi opinion maker yang banyak mengekspresikan isu sosial. Namun semuanya tetap dikemas menjadi puisi.

Dalam perjalanannya puisi esai ini memang lebih mudah diterima segmen masyarakat di luar komunitas sastra yang serius. Bagi masyarakat luas, puisi esai ini lebih mudah dipahami, dan berhubungan dengan suasana sosialnya sendiri.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Tapi bagi kalangan kritikus profesional atau komunitas sastrawan yang serius, pola puisi esai ini dianggap akan banyak mengorbankan estetika dan seni bahasa. Ada beberapa contoh puisi esai yang berhasil dari sisi estetika, tapi lebih banyak yang dianggap gagal.

Dalam perkembangan kemudian, puisi dengan catatan kaki semakin jarang saya tulis. Lebih banyak saya menulis puisi sosial, dengan drama di dalamnya. Ini semacam cerpen yang dipuisikan.

Semakin banyak genre, aliran, gaya, spektrum puisi yang lahir, itu semakin
baik bagi taman bunga puisi. Ini pernyataan yang ketiga.

***

Saya berangkat menulis puisi dengan kerangka tiga pernyataan di atas. Tak terasa sudah 27 buku puisi yang saya tulis dalam kurun waktu lima tahun ini 2012-2017. Aneka buku puisi itu (22 dari 27 buku) pernah pula menjadi topik utama Temu Sastrawan Asia Tenggara di Sabah Malaysia, 2017.

Tak pula saya duga sudah pula muncul skripsi dan tesis yang mengupas puisi saya. Telah pula terjadi satu gelombang protes para aktivis sastra atas buku 33 Tokoh Sastra yang disusun oleh Team 8, yang memilih saya sebagai salah satu tokohnya.

Lima puisi saya dalam buku Atas Nama Cinta sudah pula digubah filmmaker Hanung Bramantyo dalam lima film pendek@40 menit. Putu Wijaya bersama Niniek L Karim, Sutardji Calzoum
Bachri pula mengubahnya dalam poetry reading@ 30 menit. Teater Jogja di bawah asuhan Isti Nugroho dan Indra Trenggono mengubah satu puisi saya menjadi teater.

Kritikus muda Narudin melalukan riset khusus dan menulis lengkap dalam satu buku mengenai jejak dan karya saya dalam sastra Indonesia. Ons Untoro bersama team sastranya menuliskan buku soal puisi dan isu sosial. Ia membahas isu sosial dalam sejarah sastra: Lekra, Taufik Ismail, Rendra, Widji Tukul dan Denny JA.

Puisi yang semula saya tulis lebih sebagai ekspresi opini dan gelora, di sela sela kerja saya selalu konsultan politik, pengusaha, aktivis, tak terduga berkembang lebih serius. Sayapun mengalir saja menikmatinya.

Atas saran banyak pihak, diterbitkanlah buku ini. Yaitu edisi lengkap puisi terpilih dari yang pernah saya tulis. Termasuk di dalamnya aneka esai dan pemikiran saya soal sastra. Termasuk juga di dalamnya, esai dan karangan sastrawan ataupun kritikus sastra terhadap jejak dan karya saya.

Buku ini dokumentasi paling lengkap dari evolusi puisi saya yang sudah diseleksi, juga pemikiran saya dan respon pengamat. Cukup dengan membaca satu buku ini, tergambar segala hal ihwal.

Tepatnya ada 49 puisi pilhan, 13 esai saya soal puisi dan sastra (termasuk pengantar), dan 13 respon pengamat dan sastrawan Indonesia ataupun Asia Tenggara.

Saya berterima kasih kepada semua insan dan peristiwa, sengaja ataupun tidak, yang ikut menjadikan dunia puisi satu bab penting dalam aneka
bab buku hidup saya.

Baca Juga:

Simak di sini: Puisi Indonesia

Penulis: Denny JA
Catatan Redaksi: Pengantar buku yang segera terbit: Mengembalikan Puisi ke Ruang Publik: Kumpulan Puisi Terpilih Denny JA dan Gagasan Seputarnya)

Related Posts

1 of 155