NusantaraNews.co – Pencapaian paling signifikan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo selama tiga tahun pertama pemerintahannya adalah antusiasme dalam membangun infrastruktur. Anggaran infrastruktur di APBN kini mencapai Rp 400 triliun setahun. Sebagai perbandingan, subsidi energi tiga tahun silam mencapai Rp 350 triliun per tahun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 250 triliun dan subsidi BBM untuk membangkitkan listrik Rp 100 triliun.
Subsidi energi bisa dimaknai sebagai upaya untuk memindahkan beban dari masyarakat kepada anggaran pemerintah dengan harapan agar daya beli masyarakat tidak turun tergerus kenaikan harga BBM. Namun, dana senilai Rp 350 triliun tersebut habis dibelanjakan hanya dalam setahun, kemudian tidak ada bekasnya lagi.
Sementara itu, membelanjakan anggaran infrastruktur Rp 400 triliun merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya nanti berupa konektivitas, penurunan biaya logistik atau distribusi barang. Hal ini akan menaikkan efisiensi yang direpresentasikan dengan penurunan ICOR (incremental capital-output ratio). Secara alamiah, ICOR di negara-negara maju cenderung meningkat karena mereka mengalami fenomena flying geese, yakni relokasi industri dari negara maju ke negara-negara berkembang yang lebih efisien.
Laporan Standard Chartered (Escaping the Productivity Slump, 2016) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang berkinerja baik untuk ICOR, bersama Filipina, India, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Nigeria di Afrika. Sementara China akhir-akhir ini ICOR-nya justru meningkat.
Dalam beberapa tahun ke depan, saya yakin kita akan mulai memanen investasi di bidang infrastruktur. Pada titik sekarang, MRT di Jakarta belum selesai, jalan tol Jawa belum tersambung total, banyak bandara dan pelabuhan strategis juga belum selesai pembangunannya. Inilah salah satu alasan kenapa perekonomian Indonesia seperti “terjebak” di level pertumbuhan 5 persen saja, belum bisa lebih.
Saya tidak sependapat dengan asumsi jebakan normal baru bahwa Indonesia hanya bisa tumbuh 5 persen. Jika pembangunan infrastruktur tersebut diselesaikan, saya yakin pertumbuhan ekonomi bisa dihela melebihi 5 persen. Yang diperlukan saat ini adalah terus fokus melanjutkan pembangunan infrastruktur, sambil menanti dampaknya berupa pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dalam beberapa tahun ke depan. Semua itu harus menempuh beberapa tahapan, tidak pernah ada hasil yang bersifat instan.
Deregulasi
Andalan Presiden Jokowi sebenarnya bukan cuma itu. Di sektor riil, sudah dirilis 16 kebijakan deregulasi (relaksasi) di semua sektor riil, tetapi belum ada hasil yang signifikan mengangkat gairah perekonomian. Barangkali yang paling konkret menghasilkan hanya deregulasi di sektor pariwisata tatkala pemerintah meniadakan syarat visa kunjungan terhadap 160 negara, seperti yang dilakukan Malaysia. Hasilnya, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan wisatawan mancanegara (wisman) yang tertinggi di Asia Tenggara (10,7 persen).
Mengapa banyak paket deregulasi tersebut seperti menepuk angin? Ada dua kemungkinan. Pertama, lahirnya paket deregulasi tidak didukung momentum yang memungkinkan para pelaku ekonomi (baik konsumen maupun produsen) untuk merealisasikan rencananya. Ketika konsumen tercekam ketidakpastian, yang dipilih adalah bersikap diam dan menunggu saat yang tepat untuk kembali bergairah berbelanja. Likuiditas dibiarkan “menganggur” di bank atau dibelikan emas. Sedikit perkecualian, masyarakat masih tetap bergairah berwisata.
Kedua, kebijakan deregulasi belum tentu mendarah daging pada setiap lini birokrasi. Pada level operasional di bawah, deregulasi belum berjalan dengan baik sebagaimana diinginkan level atas (menteri, eselon 1 dan eselon 2). Pelayanan birokrasi secara daring juga masih tetap memerlukan dukungan layanan oleh manusia.
Akhirnya, apa yang masih harus dilakukan pemerintah dalam dua tahun ke depan? Pertama, lanjutkan dan jaga ritme pembangunan infrastruktur. Kita sangat yakin bahwa arah pembangunan ini sudah benar, hanya saja masih perlu waktu untuk menikmati panen. Kedua, iklim perpajakan harus dikelola dengan baik. Jangan sampai momentum amnesti pajak justru terusik karena pemerintah terlalu agresif melacak kembali aset para peserta amnesti pajak.
Ketiga, deregulasi sektor riil harus terus dikawal dalam pelaksanaannya. Jangan sampai deregulasi sebatas wacana para birokrat tertinggi, tetapi belum mengakar ke bawah. Para menteri harus tiada lelah memastikan implementasinya ke bawah.
Jika ini dijalankan, saya masih yakin bahwa ke depan pertumbuhan ekonomi tidak akan terjebak normal baru pada level 5 persen. Masih bisa ditingkatkan lagi menjadi 6-7 persen, bahkan lebih. Tiada hal yang mustahil asalkan kita konsisten bekerja keras. Jangan mau terjebak pada level 5 persen. (30 Oktober 2017)
Penulis: A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Pengajar BI Institute.
Editor: Ach. Sulaiman