PolitikTerbaru

Anies Baswedan Diminta Lebih Bijak dalam Beretorika

NUSANTARANEWS.CO, Perth – Gurbernur terpilih Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan dinilai lalai dalam melakukan proses rekonsiliasi dengan menyebut kata pribumi. Hal ini diyakini bakal berdampak negatif bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Retorika dan Media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti dalam siaran persnya menyikapi pidato Anies Baswedan, Perth, Australia, Selasa (18/10).

BACA JUGA: Anies-Sandi Tak Usah Hiraukan Celotehan Ahoker

“Melihat perjalanan Pemilukada DKI Jakarta yang penuh gejolak, maraknya ujaran kebencian, dan isu SARA, Anies Baswedan perlu memilih dengan bijak penggunaan kata yang bisa menimbulkan polemik,” ujar dia.

Menurut dia, pidato Anies Baswedan yang dikutip di berbagai media menyinggung mengenai kolonialisme di jaman ini dan membangkitkan istilah lawas mengenai ‘pribumi atau inlander. Istilah ini digunakan untuk menjadi pembeda dengan Belanda maupun Vremde Osterlingen atau non-pribumi lainnya misalnya keturunan Tionghoa, Arab, dan India.

Seharusnya, lanjut dia, Anies berfokus dengan mengedepankan program kerja, data-data mengenai hal yang belum dikerjakan oleh pendahulunya, dan visi misinya. Tujuannya, agar masyarakat kembali fokus pada rasionalitas kerja seorang Gubernur.

“Bukan lagi dengan bunga-bunga kata yang menimbulkan ambiguitas dan dapat membuka kembali wacana SARA dalam konteks diskusi politik masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat segera membahas hal-hal yang penting dan rasional untuk kemaslahatan banyak orang,” jelasnya.

Komunikasi Politik

Desideria menyebutkan, penggunaan kata pribumi memang kadang diucapkan oleh beberapa elit, misalnya seperti kata yang diucapkan Susi Pudjiastuti yang juga beredar sebagai pembanding pidato Anies Baswedan. Tetapi, bukan berarti kata-kata tersebut tidak berdampak karena siapa yang mengucapkan dan bagaimana istilah itu dipakai, memiliki kekuatan makna yang berbeda.

Baca Juga:  Bercermin dari Wilson Lalengke, Pemimpin Sejati yang Melindungi Anggota tanpa Batas

“Ada proses komunikasi politik menurut Lasswell yang perlu diperhitungkan yakni who atau siapa yang mengatakan dan to whom kepada siapa itu dikatakan. Dalam proses ini, Anies Baswedan sedang disorot soal kampanye SARA yang dituduhkan padanya. Menjadi kontraproduktif, ketika kata pribumi, dieksploitasi dalam pidatonya. Ini justru mengafirmasi tuduhan SARA kepada Anies,” ujar Desideria.

Trauma Kata

Di Indonesia, tambah Desi, orang dengan mudah mengatakan tidak ada isu SARA dalam pilkada DKI. Orang cenderung ignorance atau tidak peduli dan menutup mata, hanya karena takut melihat kenyataan. Tetapi, jika ini dibiarkan, maka akan membentuk budaya dan metakognisi masyarakat yang impulsif untuk menjustifikasi kekerasan verbal SARA.

“Kasus beredarnya hujaran kebencian melalui Saracen. Juga, penggunaan politik identitas dalam pilkada itu nyata. Oleh karena semua pihak perlu belajar untuk mengendalikan pusaran informasi dan menghindari eksploitasi kata-kata yang provokatif dan menimbulkan trauma,” ungkap Desideria.

Ia mencontohkan, di negara maju, misalnya di Amerika Serikat, ada kata-kata yang cenderung dihindari orang, apalagi dalam politik. Misalnya kata ‘nigga‘ yang merujuk pada panggilan kepada orang Afrika-Amerika yang diasosiasikan pada kenangan pahit perbudakan orang kulit hitam.

“Sebenarnya ada unsur penting yang digunakan Anies dalam pidatonya yakni menggunakan berbagai pepatah atau kalimat kearifan lokal yang digunakan Anies Baswedan. Setidaknya ada 5 pepatah dari beberapa suku yang diambil dan sapaan Anies kepada semua agama. Itu hal yang bagus, tetapi kalah dengan kata ‘pribumi’ yang membedakan persepsi etnis lokal dengan Tionghoa misalnya. Apalagi sentimen itu sangat dirasakan pada periode Gubernur sebelumnya,” ungkap Desi.

Baca Juga:  Temui Buruh Pabrik Rokok Grendel, Inilah Janji Cagub Risma Untuk Buruh

Istilah Pribumi

Lebih jauh, jelas Desideria, penggunaan kata pribumi disebutkan dalam Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.

Pada masa itu, istilah pribumi menjadi sangat sensitif setelah kerusuhan 1998 sebab etnis Tionghoa yang merupakan WNI, mengalami kekerasan, pemerkosaan, dan kebrutalan lainnya. Narasi yang beredar saat itu adalah pribumi dan non-pribumi. Sehingga, banyak keturunan Tionghoa harus menempelkan informasi di pintu rumahnya ‘Ini Rumah Pribumi’ demi keamanan keluarganya.

“Trauma pahit dengan istilah seperti pribumi, itu perlu dipahami banyak pihak. Supaya kita menjadi masyarakat yang sensitif dengan keberagaman dan tidak menjadi acuh tak acuh pada sejarah kelam masa lalu. Semoga dengan polemik ini, Anies Baswedan semakin paham medan kerja yang akan dilaluinya ke depan” pungkas Desi.

Pernyataan Kontras

Secara terpisah, Peneliti bidang Sosial dari Wiratama Institute, Puti Sinansari menilai, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi pernyataan kontras yang kurang pas untuk disampaikan ke hadapan publik. Apalagi, penggunaan kata pribumi sudah dilarang melalui Inpres No.26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, dalam semua perumusan serta penyelenggaraan kebijakanm perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah.

Baca Juga:  Sering Kebanjiran, Pedagang Pasar Pabean Curhat Ke Cagub Khofifah

Seharusnya, lanjut dia, sebagai pemimpin Ibukota Negara, pernyataan Anies Baswedan dalam pidatonya memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakat yang mendengarnya.

“Karena itu, jangan sampai kalimat pemimpin multitafsir bagi masyarakat yang mendengarnya. Sehingga tidak terjadi kebingungan di antara rakyat dalam merespons pernyataan pemimpinnya. Mari kita berharap, kedua pemimpin DKI Jakarta itu bisa memberikan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat di Jakarta,” ungkap Puti.

Berpikir Komprehensif

Sementara itu, Peneliti Bidang Penyuluhan Komunikasi Pembangunan (PKP) dari Mata Garuda Institute, Junardi mengingatkan, agar setiap pihak mampu memahami posisi masing-masing secara objektif. Khususnya yang terkait dengan isu pribumi dan non pribumi, sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur terpilih DKI Jakarta Anies Baswedan.

Ia meminta agar setiap pihak tidak memperbesar permasalahan yang ada, namun mendorong agar seluruh masyarakat belajar untuk berpikir dewasa dan visioner dalam meresponi setiap isu yang muncul.

“Sebagai manusia, kita tidak bisa luput dari salah dan lupa. Saya rasa kita bisa lebih dewasa dan visioner dalam memandang masalah ini. Jokowi manusia, Anies manusia, Ahok manusia dan Megawati juga manusia, yang bisa salah dan lupa. Mari kita berupaya melihat semua secara lebih komprehensif dan mampu menghasilkan solusi,” tandasnya. (ed)

Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews

Related Posts

1 of 30