NUSANTARANEWS.CO – Setahun sudah sejak kudeta gagal di Turki, di mana menyisakan banyak pertanyaan tentang masa depan negara tersebut. Suka tidak suka, konflik politik internal Turki masih meyimpan bom waktu yang mengancam masa depan Turki.
Sebagai akibat dari kudeta yang gagal, masyarakat Turki kemudian bersatu di belakang Erdogan. Pada bulan April, Turki kemudian menggelar referendum untuk memberikan pilihan kepada rakyatnya terkait sistem pemerintahan yang dianut. Hasil dari referendum tersebut, sebanyak 51,4 persen suara menyatakan “Ya”. Sementara sisanya sebesar 48,6 persen memilih “Tidak”.
Hasil ini membuat Presiden Recep Tayyip Erdogan mendapatkan kekuatan lebih untuk berkuasa. Sebab, pernyataan “Ya” berarti menyetujui draf amandemen konstitusi agar mengubah sistem parlementer menjadi sistem presidensial.
Sebab dalam draft amandemen konstitusi itu disebutkan pemilihan presiden dan parlemen selanjutnya akan digelar pada 3 November 2019. Presiden yang dipilih dalam pemilihan itu menjabat selama lima tahun dengan maksimal dua masa jabatan.
Baca: Publik Turki Referendum Memilih Sistem Parlemen atau Sistem Presidensial
Atas hasil ini, Erdogan berpotensi memimpin Turki hingga 2029 mendatang. Erdogan juga bakal berwenang menunjuk menteri-menteri, mengeluarkan dekrit, mengangkat hakim senior, dan membubarkan parlemen. Adapun posisi perdana menteri ditiadakan sehingga presiden mengontrol penuh birokrasi negara.
Seperti diketahui ketika Erdoğan dengan Partai Keadilan dan Pembangunannya (AKP) mulai berkuasa secara demokratis pada tahun 2002, mereka berkoalisi dengan Gülenists untuk mengembalikan imperium Turki lama. Jadi sebelum peristiwa kudeta yang gagal, hubungan Erdogan dengan Gulen sebetulnya terjalin sangat baik, di mana gerakan Gulen merupakan pendukung kuat Erdogan selama satu dekade terakhir.
Tapi Gülenists memiliki ambisi yang lebih dalam – dan tradisi kerahasiaan yang lahir di era kediktatoran militer, ketika banyak kegiatan keagamaan di Turki dipaksa turun ke bawah tanah. Setelah tahun 2002, infiltrasi Gülenists terhadap polisi dan pengadilan diketahui, dan mereka juga menggunakan posisi mereka untuk menekan lawan di balik layar. Sehingga pada 2013, AKP dan Gülenists berpisah, dan mulai melancarkan perang saudara secara senyap.
Baca juga: Gerakan Oposisi di Turki Semakin Solid
Dalam konteks kudeta di Turki, Gulen dengan tegas menyangkal. Bahkan menyerang balik dengan mengatakan, “Ada kemungkinan kudeta tersebut sengaja dirancang dan dijadikan untuk menuduh Gulenist,” seperti dilansir The Guardian.
Sementara Erdogan, dengan kewenangannya terus mempertahankan situasi darurat. Penangkapan masih terus berlangsung. Dari 100.000 orang yang telah ditahan, lebih dari 50.000 orang kemudian ditahan secara resmi. Termasuk sedikitnya 169 jenderal dan laksamana, 7.000 kolonel dan perwira berpangkat rendah, 8.800 petugas polisi, 24 gubernur, 2.400 anggota dewan peradilan, dan 31.000 tersangka lainnya.
Pada saat yang sama, banyak orang telah dipecat dari pekerjaan mereka, tanpa prospek masa depan. Sejumlah media independen juga telah ditutup, dan dalam beberapa minggu terakhir, pendukung hak asasi manusia terkemuka – termasuk direktur Amnesty International di Turki – telah ditangkap dengan tuduhan mendukung terorisme.
Sementara Uni Eropa dengan tegas menyoroti proses demokrasi di Turki yang dianggap tidak mematuhi peraturan hukum dan hak asasi manusia. Padahal Turki sedang berusaha keras untuk menjadi anggota Uni Eropa. Ini adalah sebuah kemunduran sejak Turki memodernisasi ekonominya, mengembangkan institusi demokratiknya, dan bergerak menuju pemberian hak-hak sipil warga Kurdi.
Sekarang masa depan Turki menjadi tidak pasti. Apalagi setelah pemerintah Turki dianggap tidak menghormati hak asasi manusia dan peraturan perundangan. Sehingga peluang keanggotaan Turki mulai dipertanyakan oleh banyak anggota Uni Eropa, termasuk Jerman.
Tanpa dukungan politik Uni Eropa, perkembangan proses modernisasi Turki bisa berubah 180 derajad. Bisa saja kemudian Turki terseret oleh arus konflik Timur Tengah. Betapa tidak, Turki sudah benar-benar berjuang untuk mengakomodasi jutaan pengungsi dari konflik di Suriah, di mana pasukan Turki sekarang menjadi peserta. Sehingga secara langsung Turki jelas merupakan target konstan serangan teroris oleh ISIS. Apalagi Erdoğan sekarang mulai terjun memasuki perselisihan diplomatik yang sedang berlangsung antara Qatar dan negara-negara Teluk lainnya. (Banyu)