Budaya / SeniCerpen

Hilangnya Angka-Angka

Cerpen: Ali Mukoddas

Aku terbangun dalam keadaan bingung, beberapa saat lalu. Semua terjadi karena alam bawah sadar yang lebih indah membuai diri. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, yang jelas saat ini aku sedang mencari tahu akan memulainya dari mana. Apa aku harus memulainya dari kehilangan itu? Tidak, sebagian orang yang mendengar atau tahu tulisan ini akan bingung, menganggap aku mengada-ada, atau pula menganggap aku mabuk. Atau, paling parahnya aku takut ada yang mengatakan diri ini gila. Sungguh, aku tidak gila, aku sadar sepenuhnya tentang keadaan. Hanya saja semua ini sangat berbeda.

Beberapa saat lalu, entah itu waktu pagi, siang, sore, atau waktu apalah, aku terbangun dalam keadaan badan seperti habis diperas. Tengah malam sampai jam empat pagi kuhabiskan waktu dengan memelototi ludruk, ya ludruk, sebuah tontonan drama yang semua aktornya adalah laki-laki, tapi ada yang berperan sebagai perempuan dengan wajah anggun mengalahkan cantiknya perempuan sungguhan. Entahlah, aku tidak bisa meninggalkan tontonan yang belum selesai begitu saja. Konon kalau ludruk itu dimainkan tidak sampai tuntas akan mendatangkan mala petaka. Kok malah membahas tentang ludruk. Begini, intinya, aku terbangun di waktu yang entah kapan itu karena menonton ludruk. Masalah badan yang terasa nyeri, itu karena aku menontonnya sambil berdiri, dapat dibayangkan lamanya menonton drama seperti itu bagaimana. Dan masalah yang lebih utama adalah… ah, aku takut menuliskannya. Tapi ketakutan harus dipaksa. Aku memaksanya dengan badan yang tiba-tiba berkeringat. Tangan gemetar, dan pikiran kacau. Jadi maklumlah seumpama nanti tulisan ini kacau, tidak dapat dimengerti.

Begini, beberapa saat lalu aku terbangun dari tidur. Mata yang tidak begitu binar menjatuhkan pandang pada lingkaran jam dinding di kamar. Jam dinding itu seperti tergeser karena guncangan, dan yang paling aneh, semua angka di jam itu hilang. Bagaimana aku bisa tahu bahwa jam itu awalnya berangka? Aku tahu karena aku yang memilikinya, setiap bangun tidur kuarahkan pandang untuk mencari angka berapa yang ditunjuk jarum pendeknya. Andai jam itu persegi, mungkin aku masih bisa mengira-ngira atas bawahnya, samping kanan samping kirinya yang mana. Jangan katakan aku sedang mengigau. Tidak! Jelas sekali saat mau tidur kulihat jarum pendek ada di angka empat dan jarum panjang di angka satu. Tidak mungkin salah.

Angka telah hilang. Dari kamar yang gelap tanpa jendela, aku keluar membuka pintu, coba mencari benda langit yang biasanya menyala terang di atas kepala. Mata ini melihat ke segala arah ujung atas, tak ada tanda bahwa benda yang menyala itu ada. Pikirku, itu masih pagi, terlalu pagi. Tapi tak mungkin, karena kutunggu sampai saat ini tetap suasana redup seperti layar televisi di tahun sembilan puluhan.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Aku bingung masalah waktu, masalah jam yang hilang angkanya tak kupermasalahkan, mungkin aku sedang lupa. Lalu kucari jam lain, baru kuingat, di rumah aku tidak memiliki jam selain jam dinding. Jam tangan rusak beberapa waktu lalu karena kena air saat terjebak hujan. Penasaran tentang waktu, aku ingat punya telepon genggam yang sedang kehabisan daya baterainya, lagi-lagi karena semalam dihabiskan dengan merekam ludruk. Lupa tak ku isi daya karena terlalu kantuk.

Anggaplah telepon itu sudah kusambungkan dengan pengisi daya. Anehnya, biasanya tampil angka sekian persen daya terisi, tapi itu tidak ada. Okelah, aku tidak begitu mempedulikan keanehan itu. Sampai pada akhirnya benda elektronik itu bisa menyala, kulirik layar bagian atas ujung kanan. Mataku seperti buta angka, tak ada angka di sana. Jam berapa? Aku kebingungan.

Stres mencari tahu jam berapa, aku membuka-buka lembaran buku, siapa tahu bisa mengurangi sedikit rasa jengkel dan kacau di kepala. Mata melumat satu paragraf. Tanpa sadar aku telah melewatkan satu hal, angka halaman buku itu juga tidak ada. Lembaran berikut dan berikutnya lagi kubuka, tetap tak ada. Seperti ada hal ganjal yang kemudian membuatku tersentak mengingat hari. Hari senin, demi mengingat tanggal berapa kuhampiri kalender di ruang tamu. Lenyap, tak ada satu pun angka di sana. Pikirku, ada yang jail menyembunyikan angka-angka.

Ke mana perginya angka-angka? Seperti mimpi, mungkin aku bermimpi. Sampai saat menulis cerita ini mungkin pula aku bermimpi. Tapi tidak, bagaimana orang yang bermimpi bisa menulis hal nyata seperti ini? Aku bahkan masih ingat siapa namaku, tanggal lahir dan bulan serta tempat tinggal diri ini. Untuk menguji kemungkinan-kemungkinan bahwa aku betul-betul sadar dan tidak gila, langkah kaki kutujukan keluar pintu.

Ada orang yang berlalu lalang di jalanan. Astaga, lagi-lagi seperti mata yang luput dari angka. Plakat motor yang biasanya terdiri dari angka itu tidak ada angkanya sama sekali. Benar-benar tak masuk di akal. Aku berlari menghampiri orang yang berjalan, menanyakan jam berapa.

“Sekarang jam…, mas.”

Gadis yang sedang membawa kantong plastik hitam menjawab, tapi jawabannya tak menyebutkan angka. Timbul pertanyaan lagi, apakah kupingku juga ikut tak bisa mendeteksi angka?

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

“Bu? Apakah bisa kulihat jam tangan ibu?”

Kuhampiri ibu-ibu yang sedang berjalan dengan jam di pergelangan tangannya. Tak ada angka.

“Manakah yang atas dan manakah yang bawah, Bu?”

Aku memastikan letak bawah atasnya jam itu, walau tak berangka aku bisa tahu bahwa yang di atas angka dua belas dan yang di bawah angka enam. Mudah, siapa pun tahu.

“Mas ini gila apa? Sudah jelas jarum jam menunjukkan angka segitu malah menanyakan mana atas mana bawah. Cuci muka dululah, Mas.”

Ibu-ibu itu menjauh, seperti marah, menganggap aku telah mempermainkannya. Mungkin pula menganggapku akan merampok jam mewahnya. Tak sempat kuhentikan langkah perempuan itu. Kudekati orang berkacamata hitam yang sedang berjalan ke arahku.

“Jam berapa sekarang, Pak? Mohon, sungguh aku kehilangan waktu. Maksudku, aku kehilangan angka, tolong sebutkan.”

Tanpa berkata, lelaki yang kupanggil bapak itu menyodorkan tangannya, menunjukkan jam warna keemasannya padaku.

“Aku mau tahu sekarang jam berapa, tolong sebutkan.” Aku memaksa.

“Kau tidak bisa membaca angka? Sudah jelas itu menunjukkan angka berapa.”

“Baiklah, itu jam yang atas bagian mana?”

“Kau sedang menguji kesabaranku, Anak Muda? Aku sedang buru-buru.”

Lelalki itu pergi, sama seperti ibu-ibu itu. Aku berpikir, andai ibu-ibu dan lelaki itu mengenakan jam tangannya di pergelangan tangan yang sama, mungkin akan lebih mudah menarik kesimpulan. Masalahnya, lelaki itu mengenakan jamnya di tangan kanan, bertolak belakang dengan si ibu-ibu. Aku berlari mencari tahu, terasa lelah dan seperti orang yang tak tahu arah di rumah sendiri. Aku berhenti sejenak mengamati sekitar. Alam yang sejuk, redup, dan entah waktu siang, sore, atau pagi.

Kaki pun berlarian lagi menghampiri kerumunan orang yang sedang berfoto-foto. Entah sedang ada momen apa, aku kurang memerhatikan, sebab itu beberapa saat lalu. Orang yang memegang kamera seperti memberikan aba-aba berhitung, tapi aku tak mendengar ada angka yang diucapkan. Seharusnya aku lebih banyak bertanya, tapi bagaimana aku harus bertanya sedang aku tidak sesat? Bertanya masalah jam berapa, sekarang waktu siang atau malam, mungkin orang akan mengerutkan dahi dan menganggap aku orang tak waras, baru selesai minum alkohol dan sebagainya. Jelas masalah mengetahui jam berapa, waktu apa dan tanggal berapa itu adalah hal yang sederhana dan mudah. Buat apa dipermasalahkan?

Selama hidup aku tidak pernah mempermasalahkan waktu. Tapi untuk saat ini aku perlu tahu jam berapa karena ada orang yang harus kutemui. Di tanggal sekarang.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Kemarin saat menonton ludruk yang kuingat tanggal dua puluh empat, berarti sekarang tanggal dua puluh lima. Tapi bagaimana kalau aku tidak bangun di tanggal dua puluh lima karena tertidur lama? Kalau ini hari yang salah bagaimana? Kalau waktu perjanjian itu sudah lewat bagaimana? Iya, aku tahu kalau belum pasti bisa diatasi, semua bisa dijelaskan dengan cerita deskriptif. Tapi ini masalahnya beda, pada jam yang tepat di hari yang tepat, nyawa beberapa orang dipertaruhkan. Akan ada pembunuhan di pusat keramaian. Aku tidak bisa memberi tahu jam berapa pada kelian di cerita ini, karena aku takut jamnya belum sampai, dan kalau pun sudah sampai, itu juga akan lebih bermasalah. Aku pun tak bisa menjelaskan mereka akan dibunuh karena apa, tidak bisa karena itu masalah politik. Aku takut, takut disangka sebagai orang yang membuat rencana akan pembunuhan itu. Baiklah, masalah pembunuhan bagiku, untuk saat, ini bukan masalah, karena aku sendiri sedang dalam masalah kehilangan angka. Beberapa orang yang akan dibunuh pun sudah terlalu sering menikmati kehidupan, dan bisa jadi mereka tidak pernah kehilangan waktu sepertiku.

Sampai pada saat aku menuliskan kebingungan ini, waktu belum juga kuketahui sudah pada angka yang ke berapa. Suasana masih redup. Karena aku hidup di pinggiran kota, katakanlah di desa yang masih asri kekayaan alamnya, dari itu tak kuketahui hari sudah sampai pada yang bagaimana. Kalau di kota bisa kuprediksi dengan kemacetan jalanannya, tanpa memeriksa jam aku sudah bisa sedikit tahu, tapi untuk sekarang, aku tak bisa memperkirakannya.

Saat menulis cerita ini aku melihat bagian bawah ujung kiri layar komputer, siapa tahu angka yang menunjukkan waktu itu muncul. Tapi, sampai kata yang kesekian tetap tak ada angka yang muncul. Aku belum bisa menganggap diri ini pikun angka, buta angka, dan tuli angka. Kuakhiri kebingungan akan angka ini, semoga orang yang akan kutemui itu tidak terbunuh karena angka yang hilang.[]

Jakarta, 26 Juni 2017.

Ali Mukoddas
Ali Mukoddas

Penulis merupakan pemuda asal Madura yang menulis untuk dirinya sendiri, cukup egoistis memang. Setelah mengakhiri pembelajarannya di Annuqayah, dia pindah ke Jakarta serta kuliah Ilmu Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Bisa berkirim email dengan penulis di [email protected].

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39