Artikel

Gubernur Baru DKI Harus Memperjuangkan Reformasi Birokrasi

Oleh: Muchtar Effendi Harahap

NUSANTARANEWS.CO – Gubernur baru DKI mendatang haru memperjuangkan reformasi birokrasi. Pasalnya selama ini, reformasi birokrasi yang diharapkan tak mampu direalisasikan secara baik. Tidak terjadi perubahan mendasar. Adanya fakta penerimaan e-KTP harus menunggu 5 bulan, merupakan indikasi bahwa efesiensi birokrasi belum tercapai. Dengan dalih belum ada blanko e-KTP.

Dalam hal ini, Pemprov DKI tak mampu memberikan solusi. Hanya alihkan kelemahan pada Pemerintah (Pusat). Dalam perspektif reformasi birokrasi perubahan strategis sesungguhnya terdapat di sekitar struktur kekuasaan elite atau atas, terutama “mindset” dan perilaku politik Gubernur dan seluruh jajarannya.

Intinya, adalah perubahan dari kebiasaan “dilayani” menjadi “melayani” rakyat. Pemilik DKI sesungguhnya bukan Gubernur atau Wakil Gubernur, tetapi rakyat DKI itu sendiri. Teori kedaulatan rakyat mengajarkan kita bahwa rakyatlah pemilih sumber daya DKI. Pemprov DKI diberi wewenang rakyat untuk bekerja memberi pelayanan terhadap rakyat semaksimal mungkin.

Untuk itu, siapapun yang terpilih nanti, gubernur baru DKI harus peduli pada reformasi birokrasi. Gubernur baru harus berpikir, pemilik sumber daya DKI ini adalah rakyat. Pemprov hanya pelayan rakyat, bukan majikan.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Semua keputusan dan kebijakan publik Pemprov harus mempertimbangkan kepentingan rakyat, bukan sebaliknya. Berdasarkan penilaian Kemenpan & reformasi birokrasi, kinerja Pemprov DKI 2013-2014, hanya mampu meraih predikat CC =58. Angka predikat ini berada pada urutan ke-18 dibandingkan kinerja Provinsi lain di Indonesia.

Hasil penilaian kinerja Pemprov DKI Jakarta ini menunjukkan reformasi birokrasi dalam konteks akuntabilitas penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi tergolong rendah dan tidak sebanding.

Gubernur baru DKI mendatang harus mampu dan bekerja keras agar memperoleh predikat sebagai lima provinsi terbaik di Indonesia. Selanjutnya, Agustus 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran “terendah” di Indonesia terjadi di DKI. DKI Jakarta terparah, kalah jauh dari Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta.

Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai.

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Gubernur baru DKI harus mampu menangani rendahnya penyerapan anggaran ini dan harus menyerap lebih besar belanja jasa dan modal agar bebar-benar pembangunan bermanfaat bagi rakyat DKI. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam reformasi birokrasi antara lain:

Pertama, pelaksanaan konsep reformasi birokrasi harus dilakukan secara efisiensi efektif. Kedua, pembenahan birokrasi (perubahan sikap dan tingkah laku atau mind set aparat Pemprov DKI terpadu dan berkelanjutan. Ketiga, penataan kelembagaan efisien dan efektif. Tata laksana jelas transparan, kapasitas SDM profesional dan akuntabilitas tinggi, pelayanan publik prima. Keempat, hubungan sinerji antarsesama lembaga pemerintahan, dengan masyarakat.

*Muchtar Effendi Harahap, Pengamat Politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) dan alumnus Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM Yogyakarta 1986.

Related Posts

1 of 33