Review Film (Salesman, 2016) – Oleh: Denny JA
“Kami memboikot tak datang menerima piala Oscar. Ini solidaritas kami menentang kebijakan Donald Trump yang rasis.” Pernyataan itu dilontarkan film maker Iran Asghar Farhadi dan aktris utama film terbarunya, Taraneh Alidoosti.
Untuk kedua kalinya, Asghar mendapatkan penghargaan Oscar selaku film asing terbaik: Salesman (2016). Sebelumnya ia mendapatkan Oscar untuk filmnya yang lain dengan kategori sama: Separation (2012).
Asghar semakin mengokohkan diri dalam jajaran film maker elit dunia. Namun kali ini hadih Oscar datang ketika negaranya, Iran, termasuk yang yang terkena pembatasan Donald Trump masuk ke Amerika. Ia ingin bersikap di bidang yang ia bisa: menolak datang menerima piala Oscar, piala yang merupakan impian pembuat film di seluruh dunia.
***
Film Salesman dibuka dengan retaknya bangunan apartemen. Emad dan Rana, pasangan muda suami-istri kaget luar biasa. Bangunan apartemen itu sedang dievakuasi. Mereka bergegas keluar, dan akhirnya harus mencari apartemen baru.
Retaknya bangunan apartemen itu ternyata tak seberapa dibandingkan retaknya hubungan asmara mereka akibat kejadian dalam apartemen yang baru. Di sini terasa skill dan kehalusan Asghar selalu sutradara dan penulis mengolah dilema moral seorang suami, dan lelaki dalam masyarakat patriarkal Iran.
Tak ada peristiwa besar dalam film itu yang menjadi settingnya seperti revolusi atau perang. Sebagaimana dalam filmnya yang lain: Separation, About Elly, Salesman juga bertutur seputar masalah biasa yang ditemukan dalam kehidupan yang normal. Namun di dalam peristiwa biasa itu tetap tersimpan aneka dilema moral yang besar bagi hidup seorang individu.
Baik Emad dan Rana, keduanya pemain teater. Mereka sedang mementaskan naskah teater terkenal: The Death of Salesman, karya Arthur Miller. Dalam naskah itu, Emad sang suami sedang menghayati perannya sebagai Willy Loman, pribadi yang rapuh yang banyak hidup dalam imajinasinya sendiri. Kadang ia hidup dalam ilusi.
Peran itu sangat dihayati Emad. Murid-muridnya terkesan dengan penampilan Emad dan memanggilnya Salesman. Tak sadar, pribadi salesman yang kadang berilusi mempengaruhi pula kehidupan rumah tangganya.
Melalui koleganya di teater, Emad dan Rana mendapatkan apartemen yang baru. Tak diinfokan oleh pemilik apartemen, dulu yang tinggal di sana sebelum mereka seorang pelacur. Tetangga secara diam diam sering membicarakan. Tapi tak pernah ada kasus yang membuat pelacur itu dihakimi secara terbuka misalnya.
Drama dimulai ketika Emad pulang ke apartemen yang baru. Ia tak melihat istrinya ada di sana. Sedangkan di kamar mandi terlihat banyak bercak darah. Di tangga ke luar apartmen juga terlihat bercak darah.
Emad terkejut. Secepat kilat Emad mencari tahu dimana istrinya. Ia ke rumah sakit dan terlihat istrinya sedang tergolek dengan luka di beberapa bagian wajah. Tetangga bercerita ia menemukan istrinya pingsan. Menurut sebagian tetangga, itu semata mungkin istrinya tergelincir di kamar mandi.
Problem muncul karena sang istri mengalami trauma akibat kecelakaan di kamar mandi. Ia hanya bercerita sedikit-sedikit. Bahkan kadang kisahnya berbeda. Yang mana yang benar menjadi kabur di mata suaminya.
Pengakuan pertama istri sudah membuat Emad kaget. Ia tidak terjatuh di kamar mandi. Namun ada lelaki yang masuk ke kamar mandi dan menyerangnya.
Bersambung…
Baca: Trauma Yang Meretakkan Asmara (Part II)
Editor: Achmad Sulaiman