NUSANTARANEWS.CO – Tokoh nasional Rachmawati Soekarnoputri diperiksa polisi selama delapan jam di kediamannya Jalan Jatipadang Raya, Jakarta Selatan, Selasa kemarin (20/12). Pemeriksaan berlangsung sejak pukul 15.00 WIB dan berakhir hingga hampir tengah malam sekitar pukul 23.15 WIB.
Putri dari Soekarno presiden pertama Indonesia itu diperiksa di rumah karena alasan kesehatan yang tidak memadai. Di tengah pemeriksaan, Rachmawati sempat diinfus selama sekitar satu jam.
“Kondisi kesehatan Ibu Rachmawati tidak memungkinkan dirinya memenuhi panggilan penyidik ke Polda Metro Jaya. Jadi pemeriksaan dilakukan di rumah, dan di tengah pemeriksaan Ibu Rachmawati sempat diinfus,” ujar jurubicara Rachmawati, Teguh Santosa dalam keterangan resminya, Rabu (21/12/2016).
Rachmawati sebelumnya ditangkap di kediamannya dua pekan lalu, Jumat pagi (2/12). Pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno itu diduga melakukan perbuatan makar dan permufakatan jahat hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam surat penangkapan, disebutkan bahwa tindakan makar seperti yang diatur dalam pasal 107 juncto, 110 juncto, dan 87 KUHP terjadi pada tanggal 1 Desember 2016.
Menurut Teguh Santosa ada 30 pertanyaan yang diajukan polisi kepada Rachma. “Semua pertanyaan dijawab Rachma dengan baik,” kata Teguh.
Teguh berujar, Rachma juga mendapat kesempatan untuk menjelaskan proses amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
“Ibu Rachma menyampaikan bahwa amandemen konstitusi sebanyak empat kali itu telah menciptakan negara yang lemah, yang kehilangan kemampuan melindungi warganegara dari kepentingan pemerintahan asing dan korporasi asing yang ingin mengeruk kekayaan alam kita dan ingin memecah belah kita,” ungkap Teguh.
“Misalnya, pasal 33 UUD 1945 yang diamandemen dengan menambahkan ayat keempat mengenai demokrasi ekonomi. Sepintas ini seperti memberi kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi. Tetapi sesungguhnya, gagasan demokrasi ekonomi ini adalah jalan masuk bagi neoliberalisme yang membuat rakyat terpinggirkan, dan hasil kekayaan alam negara hanya dinikmati oleh segelintir orang,” papar Teguh.
Teguh mengatakan, tentu saja ada pertanyaan mengenai pertemuan antara Rachma dengan sejumlah tokoh yang dilakukan beberapa kali. Dari penjelasan Rachma dapat disimpulkan bahwa pertemuan-pertemuan itu dilakukan dalam rangka bela agama dan bela negara.
“Disebut bela agama, karena Ibu Rachma juga prihatin pada proses hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan disebut bela negara karena Ibu Rachma sejak lama memiliki keyakinan bahwa kembali UUD 1945 adalah jalan keluar yang paling substansial untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” ucap dia.
Aksi yang hendak dilakukan Rachma pada tanggal 2 Desember 2016 di depan Gedung MPR RI adalah untuk menyampaikan petisi kembali ke UUD 1945 yang asli kepada pimpinan lembaga itu. Dan rencana aksi sudah dilaporkan ke Polda Metro Jaya dua hari sebelum aksi digelar.
“Ibu Rachma sudah beberapa kali berkomunikasi dengan pimpinan MPR RI dan mereka mempersilakan Ibu Rachma bersama kawan-kawan yang memiliki aspirasi serupa untuk mendatangi Gedung MPR RI. Dalam berbagai kesempatan pula, secara terbuka, Ibu Rachma mengatakan bahwa aksi itu tidak akan masuk ke halaman Gedung MPR RI. Istilah yang digunakan beliau adalah soft landing,” kata Teguh Santosa lagi.
Strategi soft landing yang dimaksud Rachma adalah dengan menyampaikan petisi kembali ke naskah asli UUD 1945 kepada MPR RI, dan mempersilakan MPR RI untuk membahas hal tersebut di parlemen. Rachma yakin semakin hari akan semakin banyak anggota masyarakat yang menyadari persoalan terkait amandemen konstitusi.
Teguh menambahkan bahwa rencana menyerahkan petisi sesungguhnya sejalan dengan pertemuan antara Rachmawati dan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan hampir setahun lalu, yakni pada tanggal 15 Desember 2015.
Mengenai waktu penyerahan petisi kembali ke naskah asli UUD 1945 yang bersamaan dengan penyelenggaraan Aksi Bela Islam 212, Rachma mengatakan hal itu terjadi karena aksi yang diselenggarakan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI yang diundurkan dari tanggal 25 November ke tanggal 2 Desember.
Dalam salah satu jawabannya, Rachma juga menolak dengan tegas semua tuduhan dan sangkaan makar itu, dan meminta agar penyidikan terhadap dirinya dihentikan.
Selama pemeriksaan Rachmawati didampingi empat pengacara, yakni Leo Sani Putra Siregar, Sururudin, Kamaruddin Simanjuntak, dan Muhammad Sofyan.
Adapun polisi yang mendatangi rumah Rachma sekitar 10 orang dari Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya dan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Tiga diantaranya penjadi penyidik yang mengajukan pertanyaan, yakni Kompol Armayni, Brigadir Fitriah Nurindah Sari, dan Brigadir Ahmad Toufik. (Andika)