NUSANTARANEWS.CO – Malam kota Jakarta ramai dengan lampu-lampu jalan. Di sebuah Apartemen, orang-orang berbondong-bondong memasukkan tas-tas tamu yang datang untuk bermalam dan tinggal di Apartemen itu. Kami parkir mobil di basement apartemen itu juga, sangat sepi. Elisa, sekeretaris Jumailah sudah menunggu kami di loby.
Percakapan kami seputar kabar masing-masing karena sudah lama tidak bertemu, senyum hangat berpeluk hangat di antara kami. Kami masuk lift menuju lantai 18 tempat kami tinggal bersama Jumailah. Selama ini, Elisalah yang menempati apartement Jumailah itu selama kami berada di Indramayu.
Kami masuk unit. Jumailah langsung mengambil tempat duduk di sofa empuk, matanya menatap ke beberapa arah di ruangan itu. Aku sendiri sibuk memasukkan tas-tas bawaan kami ke dalam kamar.
“Kamu istirahat dulu. Aku mau rapikan ini dulu,” pintaku pada Jumailah.
“Iya,” jawabnya mengangguk.
Kulihat Elisa duduk di depan Jumailah, sepertinya mereka masih saling rindu. Ada banyak percakapan antara keduanya, mungkin seputar pekerjaan yang sudah lama ditinggal Jumailah, sesekali Elisa mencuri pandang aku yang sibuk beres-beres bawaan ke almari. Kubiarkan saja pandangan itu, aku sudah tak menghiraukannya. Kejadian yang pernah terjadi antara aku dan dia kuanggap tidak pernah terjadi, karena kau melakukannya di luar kesadaranku, dan aku tidak memaksa dia untuk melayaniku sebagaimana yang sudah terjadi.
Pada sebuah janji, aku seringkali seperti tidak menemukan kesetian yang pasti pada diriku sendiri. Aku merasa seperti seorang lelaki yang hendak melupakan istri pertama dan anaknya. Mengawali hidup baru dengan salah seorang yang dulunya hanyalah sebagai seorang teman saja, seorang teman yang sama-sama menyimpan sebuah rasa. Aku harus bagaimana, inilah yang belum mendapatkan keputusan dan kepastian yang pasti, apa aku menghadapi keduanya dengan risiko besar, atau malah meninggalkan salah satunya. Ah, tidak. Aku sama-sama mencintai keduanya. Sulit buat aku mengambil keputusan bila harus meninggal salah satunya.
Tanpa terasa aku tertidur di lantai dalam kamar, tubuh kusandarkan di ranjang tempat Jumailah menenggelamkan kedua matanya. Aku yang mengendarai mobil, badan terasa lelah dari perjalanan ke Jakarta. Di alam sana, di dalam mimpi itu aku merasa berjumpa dengan salah seorang sahabat. Pada sebuah perbincangan singkat seperti aku membicarakan sebuah kesimpulan hubungan hidup yang aku hadapi. Aku mengangguk menyetujui apa yang ia katakan padaku.
“Kau selalu lupa akan dirimu sendiri. Ingatlah, tubuhmu harus melihat matahari sebelum menutup semua jalan, dan kamu tak lagi menemukan tubuhmu. Pulanglah, di sana orang-orang menunggumu bangun dari kebiasaanmu. Berhentilah minum arak ini, karena itu tidak menyihatkan terhadap pikiran dan tubuhmu. Bangunlah, anak dan istrimu menunggu,” lanjutnya.
“Oh, tentu. Suatu saat aku akan kembali. Tapi jiwa ini selalu terseret ke mana oleh sekelompok orang yang menginginkan aku di sini,” jawabku, seperti aku biasa-biasa saja tidak punya persoalan. Mungkin ini adalah sebuah jalan untuk kubawa pulang, karena permainan belum juga selesai menjelajahi jalan hidupku.
Sesungguhnya, aku pun sering kali merasa heran bagaimana aku dan Jumailah, dua pribadi dengan banyak hal yang sama, sehingga kami bisa nyaman dan bekerjasama dalam sebuah rumah tangga. Beda dengan Herlina, istriku yang pertama, yang sering bertolak belakang dengan ingin dan kebisaan bersama. Bahwa kami tidak pernah sejalan dengan hal apa pun. Pada diri seorang Jumailah, aku menemukan kesamaan, kebiasaan dan keinginan yang dia lakukan tidak pernah bertentangan dengan kebiasaan dan keinginanku. Kami berjalan bersama. Apa pun yang kami lakukan selalu bersama. Karena kami selalu punya keinginan yang sama.
Tapi itulah, aku sering takjub menyaksikan bagaimana cara cinta bekerja, bagaimana cinta mempermainkan keadaanku saat ini. Semua itu terjadi di luar dugaanku sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan hidup dalam rumah tangga dengan Jumailah, tidak pernah sejauh itu aku memikirkannya. Sebab, dulu setelah aku dengan Jumailah sama-sama jauh, aku pernah jatuh cinta dengan seorang perempuan di Malang, namanya Erlina, selain kekasihku yang di Jakarta. Lagi-lagi karena perbedaan di atara aku dan Erlina, kami tidak bisa melanjutkan hubungan itu ke jenjang yang lebih serius lagi. Kemudian aku bertemu dengan Herlina. Yang membuat aku tertarik untuk menikahinya, karena dia punya wajah yang hampir sama dengan Jumailah, dari tawanya, senyumnya, kelakuan manjanya, tidak jauh beda, cuma keinginan di antara kami itu yang berbeda, dan selalu bertentangan alias tidak pernah sejalan.
Sekarang, aku harus kembali kepada masa laluku. Hidup dalam satu keluarga dengan Jumailah, dan belum menumukan kepastian apakah aku meninggalkan Herlina atau tidak. Tapi aku merasa kasihan dengan Herlina yang saat ini sudah punya anak, yaitu anakku juga. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya. Dia seorang sendiri, tidak punya siapa-siapa selain aku. Aku menikahinya, karena dia juga ditinggal orang tuanya sejak usia sepuluh tahun. Sekarang dia menjadi seorang ibu yang menunggu suaminya pulang.
Ah, ada bisik di telingaku, seperti suara dalam batinku; “Ajaib sekali menyadari bagaimana kamu bisa bertahan dengan Herlina yang sering membuatmu marah. Bagaimana Herlina juga bisa bertahan denganmu yang sering membuat dia naik darah.”
“Iya. Tapi aku menyadari,” kataku.
Kubalas suara itu dengan kata hatiku. “Aku memang tidak menemukan keserasian dengannya, tapi dia juga istriku yang pernah mengisi bagian kosong dari diriku. Aku menginginkan dia tetap bersamaku kelak, meski ini cukup sulit bagiku. Entah bagaimana pun caranya.”
Aku mengangguk.
Mengangguk lebih dalam.
Perbincangan itu terus bertalu di telinga. Menyentuh dawai-dawai kenangan. Mengencangkan simpul-simpul evaluasi diri untuk terus belajar mengisi kekurangan dan ketidak sadaranku akannya. Melengkapi apa yang kurang. Sebagai mana tanpa aku sadari, ia telah melengkapi banyak hal yang luput dari diriku. Karena selama aku jauh dari Jumailah, aku merasa sendiri—asing dari lingkunganku sendiri. Hanya Herlina yang dulu pernah hadir melengkapi hidupku hingga kini, dan aku bisa bangkit kembali dari tidurku yang lain. Mengisi keteledoranku dengan kecermatannya, menutupi lemotku dengan kecerdasannya, mengisi lebayku dengan kesederhanaan pikirannya, menetralkan segala keribetanku dengan kepraktisannya. Tapi itu hanya bersifat sementara setelah aku sudah menjalani hidup dalam berumah tangga dengan Herlina.
Aku menginginkan sama bahwa Herlina harus sama dengan apa yang aku lakukan, seperti aku suka minum, suka nongkrong, dan lain sebagainya, tapi hal itu tidak pernah ada pada diri seorang Herlina, yang hanya berdiam terus di rumah menungguku datang dari mana saja yang aku mau. Kadang datang dari kerja, kadang dari tempat nongkrong. Dia menginginkan aku berpakaian rapi, bekerja di kantoran, pulang tidak boleh sampai larut malam, tidak boleh minum, dan masih banyak yang lainnya yang dia tidak menginkan dariku.
Kalau hanya dengan berbekal cinta, mungkin telah beberapa tahun kemarin biduk ini kandas dan hanya menyisakan pelampung untuk menyelamatkan diri sendiri. Iya, jejak itu masih ada di hati. Aku tidak ingin pergi meninggalkan luka. Aku terngiang saat-saat dulu kami berdua masih menjejak harapan yang sama—tujuan yang satu, cinta abadi, merangkai rumah tangga yang sejahtera. Hingga aku sendiri saat ini pergi, melupakan janji-janji itu yang pernah kami rangkai bersama, menelantarkan jejak yang dalam di hati, tanpa pernah berkata, tanpa pernah memberi padanya harapan untuk kembali selamanya. Aku memang tidak setiap hari menemui dia, tapi aku selalu berusaha mencari waktu kosong untuk menjenguk dia dan anakku, sebab aku masih menginginkan hidup dengan mereka. Tak akan kuhapus jejaknya; biar sakit, biar pedih, atau apa pun rasanya, hingga angin dan air mengaburkan semuanya.
Aku di sini, terdiam, tersentak tanpa kata—seakan dunia gelap oleh kabut; seolah cahaya hilang di telannya. Aku mencintai bukan membenci ketika aku mencoba untuk memahami arti cinta sebenarnya, tapi kenapa hanya penyiksaan batin dan pikiranku yang aku dapat. Awalnya aku tidak memikirkan sampai seruet ini. Tapi ini telah aku jalani.
Ah, akan kucoba untuk merajut kembali sehelai demi sehelai. Bintang yang kutunjuk, cahayanya perlahan berubah kelam, hancur berjatuhan. Padahal, belum sempat aku merasakan kenyamanan dan menikmatinya sampai menunjukkan cahaya yang satu menjadi satu keutuhan. Taman langit seolah suram—petang tak benderang, membuat hatiku semakin bersemayam.
Hati telah lebur terganti, namun tiada arti syair-syairku suram, tak ada setitik terang. Mungkin inilah akhir cerita cinta di tengah malam terhias purnama menyatu dalam angin melantun pilu ataukah ini hanya sebatas awal dari jawabanku untuk kembali kepadanya. Iya, purnama itu terluka, bercucur air mata ditahan dengan senyum sayup merekat dengan cinta dalam pertemuan di iringi sepatah kata—luapan-luapan kebencian tertinggal dan tanggal di jalan-jalan tempat aku sembunyikan mataku. Daun-daun menari sendu. Angin melantun pilu. Perpisahan memang harus tercipta untuk menemukan pertemuan kembali, sampai kembali mematahkan kegelisahan masing-masing. Oh, malam merapat pulang di tengah sesal jalan, kini terkikis kelam.
Aku tersesat pada hatiku sendiri, karena kerelaan akan melepas jiwaku pergi untuk menebus segala dosaku padanya. Namun, saat kucari jalan keluar, jalan pulang, mengapa terjadi persimpangan yang membuatku salah arah menuju arah jalan yang kutuju. Itu jalan berbeda dalam hatiku meningalkan janji-janjiku dengannya.
Suatu masa depan cerah tanpa dirinya atau hanya hidup dalam kesalahan yang selalu membekas di hatinya. Dalam kebimbangan raga dan pikiranku yang selalu tertuju pada sisi terburuk, cahaya jalan penerang dari Tuhan perlahan untuk menerangi jalan kesadaranku kembali. Walau sampai sekarang pun aku hanya mampu berharap, kini aku hanya bisa menjalankannya sambil menunggu jawaban waktu. Aku masih ingat senyuman itu yang menggantung. Desir rasa rindu ini. Aku tahu, aku tidak boleh lagi menyimpan kecurigaan atau benci padanya. Tapi, aku malah gamang. Ternyata, namanya sangat kuat terpatri. Meski pun seharusnya nama yang lainlah yang ada di hati ini.
(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 7) – Novelet Yan Zavin Aundjand)
*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.
_____________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].