Manipulasi Informasi, pemerasan, persekongkolan-kongkalingkong-tahu sama tahu ternyata juga dilakukan ”oknum“ wartawan.
Oleh: Uki Bayu Sedjati & Hari Agustono
Wartawan merupakan profesi yang umumnya ditekuni dengan semangat tinggi demi memperoleh informasi dan memberitakannya kepada khalayak ramai. Di balik berita yang dinikmati pembaca setiap hari ternyata ada berbagai cerita, duka suka, tetes keringat yang harus dijalani oleh para wartawan di lapangan – yang justru jarang diberitakan.
Doeloe wartawan beroleh julukan kuli tinta karena mereka setiap saat bergaul akrab dengan tulis-menulis dan cetak-mencetak sampai pun “belepotan” tinta. Junde adalah salah satu dari mereka.
Kerasnya hidup di Jakarta mengharuskan dirinya menapaki dengan segala daya. Diawali dengan menjadi penjaja koran eceran, meningkat menjadi loper, berkenalan dan akrab dengan wartawan membuatnya gemar membaca, juga beroleh “ilmu” mencari berita hingga menulis dan menyodorkan kepada redaksi, ia si “wartawan autodidak” beroleh kesempatan sebagai contributor alias pemasok berita terus meningkat sampai diangkat resmi menjadi wartawan di suatu surat kabar.
Pemimpin redaksi tempatnya bekerja adalah seorang idealis. Membongkar kolusi, manipulasi dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun pengusaha dinyatakannya sebagai amanah dari rakyat “atas nama Tuhan” – yang dengan sepenuh hati dilaksanakan apapun konsekuensinya. Junde dan sejawat kerjanya dengan semangat tinggi mengikuti karakter PemRed-nya. Untuk mendapatkan berita dan mewawancarai nara sumber di wilayah Ibukota ia mengayuh sepeda. Jarak dan waktu tempuh, besarnya energi yang dikeluarkan, dijalani tanpa kenal lelah, tanpa keluh.
Padahal gajinya tak seberapa, kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama istri dan anak-anak.
Pergantian PemRed merubah arah kebijakan keredaksian, dari idealis menjadi kompromistik. Junde dan sebagian sejawat kerja menentang, dan mengundurkan diri. Ia frustrasi. Konflik bathin memuncak. Apakah pantas bertahan sebagai seorang wartawan idealis? Sementara para pejabat negara dengan seenaknya korupsi di segala bidang. Yang mereka korupsi adalah uang negara – yang sebagian besar diperoleh dari pajak, yang dibayar oleh rakyat! Jadi, uang itu adalah uang rakyat.
”Saya rakyat! Jadi uang para koruptor itu sebagian adalah uang saya!” Seruan mengiang di aqalqalbu.
Dengan segala cara Junde melakukan aksi. Bekal pengalaman ia manfaatkan untuk menggali informasi. Sasaran utama pejabat tinggi yang korup, manipulatif, dan semacamnya. Fakta-fakta yang ia sodorkan pasti mengakibatkan si pejabat kaget, stress, tertekan, tak mampu melakukan perlawanan, lantas “terpaksa“ memberi imbalan puluhan bahkan ratusan juta, ataupun menyerahkan benda berharga lainnya kepada Junde, agar “kasus“nya tak diberitakan.
Uniknya, Junde menjalani peran sebutlah ” wartawan kerah hitam” itu tidak didukung tim. Hanya pada kasus tertentu ia dibantu paranormal dan wartawan muda. Sebagian besar lainnya ia ber“solo karir“ atawa “soliter.“ Alasan utamanya agar aman, mencegah rahasia bocor, dan segala konsekuensi ditanggung sendiri. Bahkan istrinya pun tak diberitahu.***
S A T U
Seorang lelaki usia paruh baya sedang duduk di depan meja kerja, membaca blocknote-nya yang berisi tulisan-tulisan tangan, nomor telepon, juga angka-angka, ada yang dengan tinta warna biru, ada yang merah, sekian rupiah dan sekian dolar, dan lain-lain. Di sekitarnya beberapa buku dan lembaran kertas, ada yang tersusun rapi, yang sedang terbuka, juga yang berantakan.
Di samping kirinya ada laptop yang rupanya sedang dipakai olehnya. Juga dua telepon seluler. Kadang ia mengetik dengan cepat seraya leher dan matanya melirik ke kanan ataupun ke kiri. Kadang lehernya dipanjangkan untuk melihat dan mengutip data yang tercantum di kertas, buku, di catatan telepon, dan lain-lainnya. Acap kali juga ia tercenung, keningnya berkernyit tanda sedang berpikir keras.
“Bang, istirahat dulu. Minum obatnya sekarang, yaa.” Itu suara Sri, istrinya, yang sedang membaca majalah wanita di ruang sebelah.
Si lelaki diam saja. Ia masih serius menekan-nekan tuts-tuts laptopnya. Sesekali ia memijat-mijat tengkuknya sendiri. Dari luar terdengar kokok ayam pelung dengan suara yang khas. Indah. Lelaki yang di bawah kedua matanya tampak berwarna abu-abu, dan letih, seperti memaksakan diri untuk tidak mengantuk, sama sekali tak merespons suara ayam itu.
Mendadak ia mengusap-usap dada sebelah kiri, mulutnya meringis tanda merasakan nyeri, lantas coba bangun dari duduk. Napasnya tersengal seolah aliran udara tak cukup masuk ke hidungnya. Kaki yang menyangga tubuhnya gemetar. Ia limbung. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu, ingin memanggil siapa saja yang ada di dekat ruangannya. Matanya berkunang-kunang, dunia seperti berputar. Tangan kirinya meraih sandaran kursi agar tak jatuh, tapi kursi itu lebih enteng dari tubuhnya. Maka ia dan kursi jatuh bersamaan.
Bunyi kursi dan badan manusia menyentuh lantai lumayan keras.
“Hai, Abang jatuh!!” teriak Sri segera berlari mendatangi.
Seruan itu semacam perintah bagi dua orang lelaki yang bersicepat lari ke satu arah: ruang kerja pemilik rumah. Salah seorang sigap menyambar tabung oksigen ukuran sedang dan membawanya.
Tubuh lelaki itu tampak terkulai, untung kepalanya tak menghantam lantai karena tersangga oleh kursi. Sri sudah ada di sampingnya tengah memegang leher suaminya, lantas dibantu lelaki yang datang berlari memindahkannya ke velbed—mirip tempat tidur di kemah militer—yang terbuat dari kulit dan bagian atasnya sudah dimodifikasi, sehingga posisi kepala si penderita lebih rendah dibanding jantungnya. Pada saat yang sama lelaki yang membawa tabung oksigen datang dan langsung memasangkan masker oksigen menutupi hidung dan mulut.
Roda mobil berputar cepat, berbelok ke satu arah.
“Awas polisi tidur, tuh!”
Roda mobil bergerunjalan melintasi garis-garis jalan yang sengaja dibuat agak menonjol agar semua kendaraan melambat saat mendekati pintu gerbang perumahan. Mobil Kijang itu memasuki jalanan menuju kompleks perumahan dengan melambatkan kecepatannya.
Pengemudi menurunkan kaca jendela mobil bersamaan dengan penumpang yang duduk di belakangnya, dan kepala seorang lelaki muncul untuk bertanya kepada petugas satpam yang berjaga.
“Selamat siang. Mau ke mana, Pak?” tanya salah seorang petugas satpam, sedangkan sejawatnya menggunakan alat deteksi yang biasa dipakai untuk memeriksa kolong kendaraan roda empat.
“Mau ke rumah Bos Junde. Di mana ya?”
“Bos Junde? Alamatnya?”
“Ini real estate Cendana Harum, kan? Alamatnya, sebentar…,” ujar lelaki dalam mobil sambil memencet tuts HP untuk melihat SMS berisi alamat yang ditanyakan. ”Ini, nih…, katanya dekat blok BX Dua.”
“Blok BX, silakan jalan terus nanti di perempatan belok kiri, nah… ketemu kolam air mancur berputar ke arah kanan. Bapak sampai di pos satpam pintu gerbang belakang. Nanti mereka akan menjelaskan,”terang satpam sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
“Wah, terima kasih. Mari, Pak.”
“Ya, ini kartu pasnya, silakan.”
Bangunan rumah-rumah di real estate ini lumayan besar, bergaya Mediteranian, tingkat dua dengan halaman cukup luas, tampaknya diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas. Mentereng, tiap rumah pagar halamannya sekitar 1,5 meter, ada yang berupa pagar teralis besi, pagar tumbuhan, juga ada yang dibeton mirip benteng. Makin tinggi dan makin tebal pagar menunjukkan tingkatan rasa aman pemilik rumah terhadap situasi dan kondisi lingkungan. Padahal kompleks semacam ini umumnya memiliki tim sekuriti lengkap dengan petugas satuan keamanan yang pada saat tertentu mengitari kompleks dengan sepeda motor.
Tiga orang yang mengendarai Kijang itu tak menyadari bahwa ada petugas yang mengikuti dan mengamati dari jarak 50 meter di belakang mereka. Dan selalu menggunakan handy-talky yang terimpit di pundak kanannya.
“Maaf, Bapak yang tanya blok BX Dua, ya?” sapa petugas di pos penjagaan pintu gerbang belakang, ramah.
“Wah, Pak Satpamnya oke nih,”cetus seorang perempuan dari dalam kendaraan.”Kita belum tanya dia udah tahu….”
“Namanya juga petugas. Mereka saling ngasih tahu,”tukas si pengemudi.
“Lokasi BX Dua di seberang, Pak,”tunjuk petugas.”Memang kompleks ini luas. Mula-mula dibangun blok A dan B yang tadi dilewati. Tahun lalu diperluas di seberang jalan lama. Jadi, Bapak keluar pintu gerbang ini, belok kiri ada jalan lama sekitar seratus meter. Nah, di sebelah kanan ada pintu gerbang blok BX Dua.”
“Ooo, jadi di luar kompleks yang ini. Oke, terima kasih.”
Mobil Kijang segera meluncur sesuai arah yang ditunjuk. Keluar dari pintu gerbang belakang itu kondisi jalanan tidak mulus. Juga tampak perbedaan suasana.
Di dalam kompleks bangunannya elok, lampu-lampu jalanan rapi, sedangkan di jalan lama—seperti yang diucapkan petugas tadi—terdiri dari perumahan biasa. Rumah yang satu beda bentuk maupun luasnya dengan yang sebelahnya. Juga ada kios-kios dan rumah petak.
Sekitar 30 meter sebelum berbelok masuk ke pintu gerbang kompleks blok BX 2, di jalan lama itu ada lima tong ukuran besar terletak di tengah, memisahkan jalanan menjadi dua. Karenanya, setiap kendaraan yang lewat harus perlahan.
“Eit, bentar, stop dulu,”mendadak si lelaki dalam mobil itu bicara.” Lihat rumah ini. Tuh, di garasinya ada empat mobil keren. Jangan-jangan ini rumah Pak Junde. Pinggirin deh, saya mau turun dulu.”
Seorang lelaki berseragam satpam sedang menyirami tanaman di halaman rumah itu.
“Maaf, Mas, numpang tanya, ini rumah Pak Junde?” tanya lelaki yang mencangking tustel sambil turun dari mobil.
“O iya, betul. Mas dari mana, ya?” satpam balas bertanya.
“Pak Junde ada, kan? Bilang saja, saya Moha, mantan anak buah beliau, dulu di harian Nusantara.”
“Tunggu sebentar, Mas. Saya bilang ke ibu dulu,” sambut satpam itu yang segera berlari masuk rumah melalui garasi.
Lelaki muda bernama Moha itu segera menyuruh pengemudi untuk parkir di sisi trotoar depan rumah tersebut. Lantas si perempuan juga turun sedangkan si pengemudi tetap di dalam mobil.
Di garasi ada empat mobil dengan warna berbeda, satu merah, satu putih, dan dua hitam. Dari merek, tipe, dan tahun pembuatannya yang di atas tahun 2005-an, artinya harga kendaraan itu ratusan juta. Namun halaman rumah ini ternyata kurang terurus, tanamannya tumbuh tak beraturan. Kesan ini muncul mungkin juga karena terpengaruh dengan bentuk desain rumah. Jika dicermati, rumah besar ini merupakan gabungan tiga kaveling rumah ukuran sedang yang disatukan, tapi pembangunannya tanpa perencanaan arsitektural. Bangunan bagian tengah dan samping kiri bertingkat dua, sedangkan yang sebelah kanan beratap seperti joglo, digunakan untuk garasi mobil.
Bukan hanya itu, warna rumah pun menunjukkan bahwa antara bangunan satu dan lainnya tidak diatur dengan cermat. Tembok teras depan abu-abu, pilar-pilarnya kuning, kusen pintu hijau terang, kusen jendela hitam, sedangkan tembok bagian samping yang bersambung dengan garasi susunan bata dicat merah marun. Pintu rumah terbuat dari kayu mahoni warna cokelat, sedangkan pintu garasi warna hijau daun. Kombinasi yang kurang padu-padan. Di halaman itu juga ada dua kandang ukuran sedang berisi ayam pelung yang suaranya melengking.
Moha segera mengasungkan tangan mengajak bersalaman seorang perempuan paruh baya yang keluar dari pintu rumah.” Bu Sri masih ingat saya, Bu? Saya Moha.”
“Oo ya. Tapi, saya pangling. Sudah berapa tahun gak ketemu, ya?” Sri, istri Pak Junde, bertanya sedikit kaku. Matanya tajam menatap tamunya.
“Mungkin, ya sekitar… hampir lima tahun, Bu. O ya, maaf, ini teman saya, wartawati, Nuri.”
“Nuri Anggito, Bu. Saya baru magang di tabloidnya Mas Moha.”
“Kamu kerja di mana sekarang, Moha?” tanya nyonya rumah. “Duduklah,” tambahnya mempersilakan. Di teras ini kursi tamunya terbuat dari rotan.
“Sekarang di tabloid automotif Sirkuit, Bu. Sebelumnya di tabloid infotaintment…”
“Mmm, Moha dan Nuri, maaf saya hanya menerima kamu di sini. Karena Pak Junde lagi sakit. Boleh saya tahu keperluan Moha ke sini?” (bersambung)