Setapak Jalan
Angin menyalami tubuh kita
Rerumputan basah membasuh tapak kaki
Kaum Petani
Diatas tanah, butir-butir air ikhlas jatuh
Tulus mengalir.
Langit biru muda siang itu
Mengundang alur angin menghantar senyum
Untuk ladang sawah.
Kini engkau berpidato
Tentang Negeri yang pernah kita dambakan.
Sesuatu yang engkau makan,
Tak perlu konsolidasi kebohongan.
Sesuatu yang kau minum,
Tak perlu persekusi kebenaran.
Kedaulatan hanya asap sisa pembakaran
Yang raib entah kemana.
Garis senyum di pipimu
Ingin ku rasi: melayar ke sejahteraan.
Jamasih, 2018
Sudut Kamar
Gerimis malam itu
Kaki-kaki hujan mengetuk jendela
Suaranya lembut memeluk telinga
Dingin di luar masuk ke dalam kamar
Aku sendiri di kota tanpa nama
Mungkin doa-doa sudah banyak dilangitkan
Oleh bibir ibu, kenangannya membekas dipipi.
Garis kulit diam memaknai angin,
Engkaukah yang datang dari utara bekas kota kelahiran
Menghantar kabar.
Mata kosong takdim memandangi tanah
Menafsiri gerimis: lembut mencium tanah.
Engkaukah yang jatuh pelan-pelan membawa kenangan.
Aku sendiri di kota tanpa nama
Isi perut dan kepala: dalam usaha.
Purwokerto, 2019
Rumah Malam
Bermandikan gelap, dirangkul bintang gemintang
Cahaya bulan samar menusuk genting
Kesepian bertengger di ruang tamu
Ingin ku jamu malam bersama dikau
Berbincang dunia yang lengang tentang
Seonggok daging yang tidak pernah tahu apa-apa,
Manusia yang lahir tanpa memilih,
Seorang yang hidup penuh tanda tanya.
Di dalam rumah
Dapur lama menjelma sepi
Sekawanan sawang malang melintang
Bumbu-bumbu masak dijarah waktu.
Bila fajar datang, angin menyelinap ke sela-sela jendela
Engkau ramah memanggil
Malam oh malam
Kenangan yang menggigil
Dukuhtengah, 2019
Sebungkus Sunyi
Malam itu
Bulan datang dengan menggigil,
Kemerdekaan yang telanjang
Hanya mengingat aspal yang mencium butir hujan,
Malam itu
Kegelapan menjarah waktu
Rumah oh rumah’, dimana hatimu yang megah
Mataku lunglai meraba nyamanmu
Malam itu
Sejahtera telah kuyup
Sudah saya gantung bersama kalender
Menanti-nanti hari besar mu.
Brebes, 2020.
Di Sebuah Desa
Katakanlah terpencil, wajahnya mendalam menutup seluruh isi keindahannya.
Mata pencahariannya ialah bersyukur, merasa puas, bagi hasil dengan semesta.
Bila hujan turun
Suaranya begitu lembut menendang-nendang atap rerumahan.
Hujan begitu pemalu bila ingin badai ditengah perhelatan dusun itu.
Orangnya terbuat dari sabar, pekerjaannya merakit ramah,
Tamu yang datang pun dapat melepas pakaian resah.
Disebuah desa.
Malam hari, kesunyian selalu bertamu.
Suara burung hantu, dan hewan-hewan malam bersimfoni
Tidurnya terbuat dari puas
Mengolah lahan, memeras keringat
Untuk dimakan dan diminum.
Orang-oranngnya tidak tumbuh dengan banyak slogan.
Visinya merasa cukup
Misinya mengambil seperlunya dari alam.
Disebuah desa,
Kemajuan tumbuh begitu asing
Meski asing tetap dipaksa tumbuh.
Di sebuah desa,
Aku dan kau saling bertanya.
Apa itu modernitas?.
Disebuah desa,
Aku dan kau seharusnya saling menjawab.
Modernitas bukan digusur atau menggusur.
Brebes, 2020.
Lampu-lampu di Atas Sawah
Di kota mu.
Kemakmuran di jual berapa?
Bila musim bawang, lampu-lampu itu menjaga malam
Bersaing dengan cahaya bulan.
Lampu-lampu itu tumbuh menjalar
Menyikut kegelapan.
Brebes, 2021.
Tubuh Bulan
Bulan semalam telah nyenyak
Tertidur diatas tumpukan gelap, lelap jauh menyumur ke mimpi
Lekuk tubuhnya berloncatan riang, menginjak-injak kesunyian.
Bulan semalam mengabdi suntuk
Menyangga tubuhnya, lamun yang kian menebal
Cahayanya saling menyilang, menabrak pori-pori kegelapan.
Bulan semalam telah wafat
Dimandikan aliran nestapa, dibungkus kalimat berpintal-pintal
Dihantarkan ke pemakaman pasrah.
Tanah dan kembang-kembang menjelma serpihan doa
“Tenang lah, kau terkenang”
Brebes, 2021.