NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Referendum dan rekonstruksi UU Otsus, dua isu proxy war di Bumi Cenderawasih.
Aliansi Pemuda dan Rakyat (Ampera) Papua menduga Australia menyebarkan proxy war lewat aksi mengibarkan bendera Bintang Kejora di Gedung Balai Kota Leichhardt Sydney Australia pada 29 November 2019. Aksi tersebut dinilai propaganda dan dukungan terhadap referendum Papua.
“Hal yang kemarin dilakukan oleh pihak Australia menjelang momentum 1 Desember kemarin ini sangat memperihatinkan sekali, Australia sebagai sebuah negara yang kemudian dihargai oleh bangsa Indonesia sebagai negara yang berdaulat juga seharusnya bisa memegang teguh perjanjian-perjanjian yang dilakukan dengan Indonesia seperti perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia,” kata Ketua Ampera Papua Stanely Salamahu dikutip dari keterangan pers, Jakarta, Rabu (4/12/2019).
“Kami melihat apa yang Australia lakukan ini adalah bentuk proxy war yang terjadi hari ini, perang secara tidak langsung dilakukan oleh ada kapitalis asing yang bermain di tanah Papua hari ini,” lanjut Stanely.
Dia mengungkapkan dari investasi asing yang ada di tanah Papua ada kepentingan yang jauh lebih besar.
“Ada kepentingan negara tertentu dalam hal ini menurut kami adalah sekutu dari Australia yang kemudian mempunyai kepentingan investasi di Papua yang kemudian Australia ini dijadikan boneka terus merongrong kedaulatan NKRI terkait isu referendum yang ada di Papua,” ungkap Stanely.
Karenanya, kata dia, pemerintah Indonesia perlu bertindak tegas dan serius terkait upaya perang proksi yang dimainkan Australia di Bumi Cenderawasih.
“Negara harus mengambil sikap untuk kemudian melawan segala bentuk tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak asing yang mau merongrong kadaulatan NKRI. Saya pikir isi Papua ini tidak bisa kita main-main bukan pihak asing saja tetapi ada kelompok oligarki di Papua juga terus memantau isu referendum,” tegasnya.
Dia melanjutkan, kemudian nanti ada kompromi yang dilakukan antara kelompok-kelompok yang pro terhadap referendum dan ini akan jadi buumerang nantinya.
“Kenapa saya mengatakan seperti itu karena ada kelompok oligarki yang bermain kepentingan ini, nanti di momen 2021 itu akan mencuat ke permukaan siapa aktor di balik pemanfaatan isu referendum di Papua karena nanti akan ada dua isu besar yang akan muncul nanti,” papar dia.
Pertama, kata dia, isu rekonstruksi UU Otsus. Kedua, isu referendum. “Tuntutan antara rekonstruksi atau referendum yang mana pemerintah pusat diperhadapkan oleh sebuah situasi yang nanti harus menerima salah satu antara ke dua hal ini,” tegas Stanely.
Menurutnya, kedua opsi tersebut harus betul-betul menjadi perhatian serius pemerintah pusat di Jakarta.
“Jangan sampai isu ini kemudian dibiarkan terus sementara konsolidasi dari kelompok oligarki ini berjalan di kalangan masyarakat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Papua sehingga penting untuk kemudian disikapi hari ini,” urainya.
“Negara harus bergerak cepat, jangan nanti sampai kemudian besok di tahun 2021 pasca otsus berakhir, anggaran otonomi khusus berakhir akan muncul dua opsi tersebut ke permukaan yaitu isu referendum dan rekonstruksi UU Otsus yang mana ini perlu diantisipasi,” sambung Stanely.
Sebab, hingga kini RUU Otsus Plus belum direkonstruksi atau direvisi kembali, terutama terkait dengan muatan-muatan pasal per pasal di RUU Otsus Plus yang nantinya akan merugikan rakyat Papua. (eda/sld)
Editor: Eriec Dieda