NUSANTARANEWS.CO – Amerika Serikat selama ini hanya berpura-pura memerangi teroris. Perang menghadapi teroris global boleh jadi hanya retorika politik untuk mempertahankan hegemoni mereka. Sehingga perang melawan terorisme hanyalah sekedar pementasan sandiwara global. Di mana AS dan sekutu berpura-pura memerangi Al-Qaeda, ISIS, Front al-Nusra dan kelompok teroris lainnya di kawasan Timur Tengah.
Betapa tidak, sejak tahun 1979, Washington telah merekrut para mudjahidin, untuk dilatih dan dipersenjatai guna berperang melawan pemerintah komunis di Afghanistan. Pada tahun 1990-an, Taliban yang bahkan lebih ekstrim menjadi mitra pilihan Washington di Afghanistan.
Dalam proyek penghancuran Yugoslavia, sejak awal 1990-an Washington mengirimkan ribuan teroris Al-Qaeda ke Bosnia untuk meningkatkan perang di wilayah itu. Pada tahun 1996 Tentara Pembebasan Kosovo (KLA) juga dilatih oleh para teroris Al Qaeda di perbatasan Albania dengan dukungan AS dan Inggris.
Ketika datang Arab Spring pada 2011, AS kembali menggunakan tangan NATO untuk menghancurkan Libya, membunuh pemimpinnya Muammar Qaddafi, seperti halnya membunuh Slobodan Milosevic dan membelah Yugoslavia menjadi enam negara kecil di Eropa Tenggara.
Di Libya, NATO menggunakan tangan teroris Kelompok Pejuang Islam Libya (LIFG) di bawah kepemimpinan Abdelhakim Belhaj untuk menggulingkan dan membunuh Qaddafi. Belhaj adalah seorang mantan pemimpin al-Qaeda di Libya
Ketika terjadi pemberontakan di Suriah, Belhaj mengirimkan para pengikutnya ke garis depan untuk menggulingkan Presiden Bahsar al Assad di Suriah dengan dukungan persenjataan dari AS dan Inggris.
Demikian pula sekutu NATO Turki, bersama Yordania mendirikan kamp pelatihan untuk para pemberontak Suriah di Safawi, Yordania utara. Pelatihan teroris ini melibatkan para instruktur Prancis dan Inggris. Sebagian dari kelompok pemberontak ini kemudian bergabung dengan ISIS.
Oleh karena itu, patut diduga pula bahwa dinas intelijen Barat besar kemungkinannya terlibat dalam kegiatan teroris di Chechnya Rusia, serta di Uighur Cina.
Graham Fuller, seorang analis Timur Tengah yang juga mantan agen CIA mengatakan bahwa AS adalah pencipta utama ISIS dengan intervensi destruktifnya di Timur Tengah. Perang di Irak lah yang kemudian melahirkan ISIS. Organisasi teror ini kemudian berkembang pesat dan menduduki banyak wilayah sejak 2014 – hingga akhirnya memproklamirkan terbentuknya Negara Islam Irak dan Suriah pada bulan Juni tahun itu.
Dinas Intelijen AS sebetulnya sudah lama tahu atau terlibat terkait tentang rencana pembentukan kekhalifahan semacam itu. Washington melihat bahwa Kekhalifahan seperti itu sangat baik untuk menjadi penyangga Sunni sekaligus untuk melemahkan Suriah, dan juga mengurangi pengaruh Syiah Iran.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa semua itu adalah kebijakan sistematis dan sengaja dari AS dan sekutunya untuk mempertahankan kendali atas wilayah tersebut.
Tapi hari ini, perang melawan teror telah berubah menjadi penyebaran teror. Hal itu terjadi karena kegagalan operasi militer di Irak, Afghanistan, Libya dan Suriah sehingga semakin melemahkan pegangan AS dan Barat di kawasan Timur Tengah. Kegagalan demi kegagalan ini akhirnya menimbulkan kekacauan, atau menjadi strategi kekacauan untuk menimbulkan instabilitas terus menerus di kawasan.
Satu hal yang pasti, teror di wilayah ini tidak akan diberantas oleh kekuatan yang menghidupkannya. (Agus Setiawan)