Durhaka Pengantar Maut
Cerpen Rifqi Hasani
Matahari hampir menghilang di ufuk barat menandakan waktu malam akan segera datang. Seorang petani bersiap-siap untuk pulang karena hari semakin gelap, namun dia kebingungan mencari sosok anak yang juga ikut menemaninya di sawah. Dari kejahuan dia melihat anak kecil sedang berada di tengah jalan yang tak lain adalah Faris anaknya. Tetapi petani tersebut juga melihat mobil melaju kencang kearah Faris dan tanpa berfikir panjang dia langsung berlari menyelamatkan sang anak dari kecelakaan yang akan menimpanya.
“Faris… awas…,” teriak petani itu kepada Faris.
“Ah…,” Faris berteriak karena terkejut melihat sebuah mobil di depannya.
Suatu dorongan membuat Faris terjatuh ke pinggir jalan, namun dia mendengar suara tabrakan yang berasal dari tempatnya sewaktu didorong oleh seseorang. Ketika Faris terbangun, dia melihat orang tergeletak tak berdaya di tengah jalan dan di penuhi dengan darah yang keluar dari kepalanya. Faris menghampiri orang itu dengan penuh penasaran. Langkah demi langkah menghantarkan dia pada sebuah tubuh laki-laki yang tampaknya sudah meninggal dunia akibat ditabrak mobil dengan sangat keras sekali. Ketika melihat wajah orang tersebut, jiwa Faris benar-benar sakit seperti baru disambar petir, sebab orang yang ditabrak adalah ayahnya sendiri dan menyelamatkan dia dari sebuah kecelakaan serta sudah berani mempertaruhkan nyawanya untuk dia. Setelah itu orang berdatangan menolong ayahnya Faris, sedangkan dia hanya bisa menangis saja karena merasa bersalah kepada sang ayah tercinta.
****
Hari demi hari, bulan berganti bulan, kelakuan Faris berubah semenjak ayahnya meninggal, dia semakin berani kepada Fatimah dan selalu membantah terhadap perkatakaannya. Pada suatu kesempatan, Fatimah ingin membangunkan anaknya untuk mengajak melakukan salat subuh bersama.
“Udah subuh Nak, bangun…!” Fatimah membangunkan Faris.
“Hmm… Faris capek, Bu,” kata Faris dengan lelah.
“Bangun dulu Nak, kita salat sama-sama yuk.”
“Aduh… coba Ibu salat sendiri, gak usah ngurus orang lain, gak tahu orang lagi capek ya” Faris membantah perkataan ibunya yang mengajak untuk shalat bersama.
“Iya tahu Nak, tapi kamu harus salat” Fatimah terus membujuk Faris untuk mengerjakan shalat subuh walaupun tadi habis dibentak olehnya.
“Ibu emang keras kepala, kalau sudah gak mau, ya gak mau, jangan dipaksa,” bentak Faris lagi.
Ketika mendengar bentakan anaknya, Fatimah menundukkan kepalanya, karena takut amarah Faris semakin tinggi.
“Sejak kepergian Ayahnya, kamu itu berubah Nak, Ibu cuma ingin kamu sadar dan bertobat kepada Allah atas kesalahan yang selama ini kamu lakukan. Ya udah, kalau kamu tidak mau salat, biar Ibu aja yang salat ya Nak,” Fatimah memberanikan diri untuk berkata.
Faris tidak menjawabnya melainkan menuruti nafsunya untuk tidur. Tanpa berpikir panjang, Fatimah melangkah meninggalkan kamar anaknya menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Setelah beberapa menit, akhirnya Fatimah selesai berwudu dan kemudian pergi kearah musala serta mengerjakan shalat subuh dengan khusyu’ di tempat itu. Rakaat pertama setelah membaca surah Al-Fatihah, Fatimah membaca surah Ad-Dhuha dan di rakaat kedua membaca surah Al-Kafirun. Selesai melakukan shalat subuh, Fatimah berdoa kepada Allah SWT. Semoga anaknya diberi kesadaran, supaya hatinya dibuka untuk mengerjakan hal yang baik, dan diberi kesehatan selalu, amin.
Matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur dengan memancarkan sinarnya yang indah pada bumi ini. Fatimah sedang menyiapkan sarapan pagi untuk Faris di dapur, namun anaknya masih juga tidak bangun dari tidurnya, Fatimah ingin membangunkannya, tapi dia takut dimarahi lagi, karena sudah mengganggu tidurnya. Tetapi Fatimah mendengar ada seseorang yang sedang mandi dan itu pasti Faris, sebab di rumahnya tidak ada orang lain selain dia dan anaknya. Lima belas menit berlalu, suara di kamar mandi tidak terdengar lagi, namun sebuah panggilan yang berasal dari ruang tamu membuat Fatimah sedikit terkejut mendengarnya.
“Sarapan paginya mana Bu? Kok gak ada,” tanya Faris dengan nada nyaring.
“Iya bentar Nak” jawab Fatimah seraya terburu-buru.
“Cepetan,” kata Faris semakin nyaring.
Langkah kaki Fatimah dipercepat ketika mendengar kata cepetan dari anaknya sehingga tidak disengaja, secangkir teh ditumpahkan pada bajunya Faris.
“Kamu bisa kerja gak sih?” ucap Faris dengan tegas.
“Bisa Nak, tapi Ibu tidak sengaja.”
“Lama kelamaan aku merasa bosan hidup bersama Ibu, jadi, pada detik ini juga, aku dan Ibu sudah tidak memiliki hubungan keluarga lagi, dan aku akan pergi dari rumah ini.”
Setelah itu, Faris memilih pergi meninggalkan ibunya, lalu mengambil barang-barang dan memasukkannya kedalam koper berwarna hitam.
“Kamu mau pergi kemana Nak,” tanya Fatimah dengan wajah sedih.
“Jangan pernah panggil aku dengan sebutan Anak lagi, dan Ibu jangan mencoba menghalangiku.”
“Aku sebagai Ibu kandung kamu Nak, aku tak ingin kamu meninggalkanku sendirian disini,” air mata Fatimah mulai mengalir deras di atas pipinya.
“Wah… omong kosong,” Faris mendorong Fatimah hingga jatuh dan melangkah semakin menjauh dari rumah sang ibu.
“Faris…” teriak Fatimah disela-sela kesedihannya.
Malam hari yang sunyi, Fatimah masih teringat dengan kejadian yang menimpanya tadi pagi. Dia kepikiran sama Faris, anak satu-satunya yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Dan tiba-tiba ada sesorang yang tidak dikenal sedang memanggil salam.
“Assalamualaikum, Ibu Fatimah,” ucap sesorang tersebut.
“Waalaikumsalam, anda siapa ya?” tanya Fatimah dengan penuh penasaran.
“Ini benar rumahnya Ibu Fatimah.”
“Iya benar,” jawab Fatimah begitu santai.
“Saya ingin memberi tahu, bahwa anak Ibu yang bernama Faris telah meninggal dunia akibat ditabrak mobil tadi sore.”
“Gak mungkin, pasti anda bercanda kan?” kata Fatimah seraya tidak percaya.
“Tidak Bu, saya tidak bercanda.”
Tanpa disangka, Fatimah pingsan di depan rumahnya, karena tidak kuasa menahan kepergian anaknya, yaitu Faris.
Rifqi Hasani, Pengurus Perpustakaan PPA. Lubangsa Selatan, anak asuh Sanggar Basmalah, dan santri asal Dasuk Enjoy.