NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebut ada 3 komponen yang menjadi penentu kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 yakni Islam-NU, Jawa dan Non-Muslim. Menurutnya, penduduk muslim di Indonesia sebanyak 87,2% atau sekitar 207,2 juta. Dari total populasi muslim terserbut, berdasarkan exit poll yang dilakukan, sebayak 51% muslim Indonesia memilih Prabowo, dan 49% memilih Jokowi.
“Dari total pemeluk Islam, jika data tersebut dipecah berdasarkan organisasi Islam, ditemukan bahwa terdapat 52,8% mengidentifikasi dirinya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama dan 6,1% berafiliasi dengan Muhammadiyah, 1,3% berafiliasi dengan persis, dan 26,6% mengidentifikasi dirinya bukan bagian dari ormas tersebut,” katanya saat menjadi salah satu narasumber pada diskusi bertema Faktor NU dalam Kemenangan Jokowi-KMA yang digelar Pengeran Budaya bekerjasama dengan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) di Hours Coffe and More, Jalan Boulevard Bukit Gading Raya Nomor 1, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (19/7).
Burhanuddin memaparkan, bahwa di kedua organisasi Islam terbesar (NU dan Muhammadiyah) suaranya tidak bulat kepada salah satu calon. Kecenderungan umum dari dua ormas tersebut saling bertolak belakang.
“Warga NU banyak memberikan suaranya kepada Jokowi-KH Ma’ruf Amin, sementara warga Muhammadiyah banyak memilih Prabowo-Sandiaga Uno,” kata
Direktur Eksekutif Indikator Politik ini mengungkapkan terdapat sekitar 56% warga NU yang memilih Jokowi- KH Ma’ruf Amin dan 44% memilih Prabowo-Sandiaga Uno. Sementara itu, di tubuh Muhammadiyah terdapat sekitar 36% warga Muhammadiyah yang memilih Jokowi- KH Ma’ruf Amin, dan sebanyak 64% warga Muhammadiyah memilih Prabowo-Sandiaga Uno.
“Jika dikonversi ke dalam total suara, maka suara warga NU ke Jokowi-KH Ma’ruf Amin sebanyak 61,5 juta, sementara suara NU untuk Prabowo sebanyak 48 juta. Sementara, total sumbangan suara Muhammadiyah untuk Jokowi-KH Ma’ruf Amin sebanyak 4,5 juta dan suara warga Muhamamdiyah untuk Prabowo sebanyak 8 juta,” urainya.
Dia melanjutkan, dari data tersebut terlihat bahwa variable penentu utama kemenangan Jokowi-KH Ma’ruf Amin adalah suara NU. Sementara itu, dari sisi etnis, etnis Jawa menjadi penyumbang terbesar suara Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Suara Jokowi pada pemilih Jawa pada tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 11% jika dibandingkan dengan tahun 2014.
“Dalam konteks inilah, dalam sepanjang sejarah Indonesia, NU adalah variabel terpenting dalam politik elektoral. Artinya, siapapun yang maju untuk memenangkan pemilu tidak bisa mengabaikan faktor NU,” paparnya.
Efek Resonansi
Burhanuddin juga menuturkan bahwa peluang terbesar Prabowo untuk menjadi pemenang adalah tahun 2014, karena pada tahun tersebut didukung oleh koalisi partai yang cukup besar. Kurangnya adalah kemampuan memobilisasi massa Islam, sehingga tidak cukup memenangkan pilpres.
“Sementara pada tahun 2019, selain berhadapan dengan incumbent, Prabowo sekalipun berhasil memainkan politik identitas Islam dengan melakukan mobilisasi massa Islam, namun cukup lemah dari dukungan partai politik,” terangnya lagi.
Untungnya, kata dia, secara cerdik Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin yang notabene sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan juga Ketua Majelis Ulama Indonesia.
“Dengan menggandeng Kiai Ma’ruf, Kubu Prabowo harus melangkahi Kiai Ma’ruf sebagai symbol kuat Islam. Meskipun kalah di Banten dan Jawa Barat, efek resonansi Kiai Ma’ruf sangat kuat karena kelompok yang memainkan politik identitas (Islam) harus berhadap dengan ikon dan representasi kekuatan Islam yaitu KH Ma’ruf Amin,” jelas Burhanuddin. (eda)
Editor: Eriec Dieda