HukumTerbaru

Hari Ini KPK Bacakan Tuntutan Perantara Suap Lippo Group

NUSANTARANEWS.CO – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal membacakan berkas tuntutan perantara suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yakni Doddy Aryanto Supeno, Rabu, (31/8/2016). Tuntutan yang akan dibacakan jaksa sudah berdasarkan kesaksian para puhak di persidangan dan bukti dokumen yang dihadirkan, Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

Lembaga antirasuah itu menetapkan Doddy tersangka pada April 2016 lalu, pada hari itu juga KPK langsung menahan Doddy. Dalam persidangan sebelumnya, (29/6/2017), Doddy di dakwa memberikan uang sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Suap tersebut terkait penanganan perkara yang melibatkan beberapa perusahaan di bawah Lippo Group.

Pemberian dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Spesifiknya pemberian uang itu agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan “aanmaning” atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL). Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang.

Dalam surat dakwaan, Doddy didakwa melakukan penyuapan secara bersama-sama dengan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Huresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro.

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

Selain itu, Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara.

Pertama terkait penundaan aanmaning perkara niaga antara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco).

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase di Singapura, PT MTP dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$ 11.100.000.

Akan tetapi, PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya sehingga PT Kymco mendaftarkan putusan itu di PN Jakpus, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia.

Menindaklanjuti hal itu, PN Jakpus kemudian mengajukan aanmaning, atau pemanggilan terhadap PT MTP, pada (1/9/2015) dan (22/12/2015)

Mengetahui pemanggilan itu, Eddy Sindoro kemudian menugaskan Huresti untuk mengupayakan penundaan aanmaning.

Huresti kemudian bertemu Edy Nasution di Kantor PN Jakpus pada (14/12/2015) dan meminta dilakukan penundaan aanmaning.

Baca Juga:  Perawatan Bayi Prematur di Rumah: Tips Sehat dari Dr. Anita Febriana Dokter Spesialis Anak RSUD dr. Moh. Anwar Sumenep

Atas persetujuan Eddy Sindoro, Doddy kemudian menyerahkan uang Rp 100 juta kepada Edy Nasution. Penyerahan uang dilakukan pada (18/12/2015) di Hotel Acacia, Jakarta Pusat.

Kedua Terkait pengajuan PK perkara niaga PT Across Asia Limited melawan PT First Media.

Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada (31/7/2013), PT AAL dinyatakan pailit. Putusan tersebut telah diberitahukan oleh PN Jakpus pada (7/8/2015).

Hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA.

Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.

Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro menugaskan Huresty agar mengupayakan pengajuan PK di MA.

Menindaklanjuti perintah tersebut, Huresty kembali menemui Edy Nasution di PN Jakpus, pada Februari 2016.

Dengan dijanjikan sejumlah uang, Edy akhirnya setuju untuk menerima pengajuan PK yang telah lewat batas waktunya.

Eddy Sindoro kemudian menyetujui pemberian uang tersebut, dan meminta Ervan Adi Nugroho untuk menyiapkan uang.

Baca Juga:  Tim Gabungan TNI Gagalkan Penyelundupan CPMI Ilegal di Sebatik

Selanjutnya, disepakati imbalan bagi Edy Nasution sebesar Rp 50 juta.

Penyerahan dilakukan oleh Doddy di Basement Hotel Acacia, Jakarta, pada (20/4/2016). Setelah serah terima, Doddy dan Edy Nasution ditangkap petugas KPK.

Selama perjalanan sidang terdakwa Doddy, ada beberapa fakta baru yang terungkap. Seperti keterlibatan Nurhadi Abdurrachman yang saat itu masih menjabat sebagai Sekretaris Mahkamah Agung (SekMA). Nurhadi diduga pihak yang mengamankan seluruh perkara Lippo Group.

Selain itu Nurhadi dalam fakta persidangan juga terungkap bahwa petinggi Lippo Group melalui Doddy pernah memberikan sejumlah uang kepada pejabat-pejabat negara lainnya seperti Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi (MenPANRB) Yuddy Chrisnandi, serta Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid.

Atas perbuatannya itu, dia di dakwa dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a Pasal 5 ayat (1) huruf (b) dan atau pasal 13 UU tipikor Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah di UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 Juncto pasal 64 KUHPidana Juncto pasal 5 ayat 1 ke 1 KUHPidana. (Restu)

 

 

Related Posts

1 of 6