NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Nasib perusahaan BUMN, PT Krakatau Steel kini kondisinya memprihatinkan. Tecatat kerugian di periode berjalan tahun ini mencapai Rp 884,6 miliar. Kerugian itu meningkat dibanding periode sama tahun lalu, yang hanya sekitar Rp 69 miliar.
Penyebab meningkatnya kerugian dipicu pendapatan bersih menurun. Dari semula US$ 486,1 juta menjadi US$ 418,9 juta pada Kuartal I-2019. Hal ini karena banjir impor baja China dengan sistem dumping tidak terkontrol.
Menanggapi hal itu, ekonom senior Rizal Ramli atau biasa disapa RR sebelumnya sudah mengingatkan akan bahaya dari membanjirnya impor baja dari China ke Indonesia. Setahun lalu, dirinya memberikan warning terhadap kebijakan dumping baja oleh negeri Tirai Bambu tersebut ke Indonesia.
Untuk melindungi industri baja nasional dari gempuran baja China, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu telah mengingatkan kepada pemerintah untuk berani menerapkan tarif anti-dumping. Langkah taktis ini sebagai proteksi untuk melindungi industri baja dalam negeri.
“Infrastruktur digenjot 4,5 tahun terakhir, harusnya penjualan (baja) Krakatau Steel naik. Tapi yang naik justru impor baja dari China, yang harganya dumping. KS (Krakatau Steel) rugi. Setahun yang lalu, RR usul kenakan anti-dumping tarif 25%. Restrukturisasi utang KS harus, tapi tidak akan tingkatkan penjualan!,” ujar Rizal Ramli melalui akun twitternya @RizalRamli, sebagaimana dikutip Kamis, (4/7/2019).
Baca Juga:
Krakatau Steel Sekarat, Impor Baja dari China Meroket
Krakatau Steel Sekarat, Ironi Pembangunan Infrastruktur
Menurut RR, kebijakan restrukturisasi Krakatau Steel dengan merumahkan ribuan karyawannya dinilai tidak akan meningkatkan penjualan, jika pemerintah tetap tidak berani mengenakan tarif anti-dumping kepada China.
“Restrukturisasi KS membuat utang sustainable tapi tidak tingkatkan sales! Harus berani kenakan tarif anti-dumping. RRT ekses kapasitas industri baja, berminat realokasi pabrik baja bekas ke RI. Eh… diberi bebas pajak 30 tahun oleh Menteri Keuangan “terbalik”. Cerdas nggak tu?,” sambungnya.
Hal sama pernah disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro yang mengatakan aktivitas ekspor baja China telah mengancam industri di negara Asean, termasuk Indonesia. Terlebih di Indonesia, impor baja dari China tidak dikenai tarif anti dumping. Lewat pelabuhan Batam baja asal China begitu leluasa masuk dengan harga yang didumping.
Hidayat mengatakan perlu adanya sistem proteksi dari internal negara untuk melindungi baja di sektor hulu seperti pemberlakuan tarif perlindungan seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
“Masalahnya di hilir tidak ada proteksi sehingga bebas dan liar begitu. Tapi hulunya tolong dong anti dumpingnya dilaksanakan karena sudah ada buktinya dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Kalau anti dumping ini bisa dilakukan serentak dengan safeguard, menurut saya ideal,” tuturnya.
Hidayat mengatakan selama terjadinya unfair trade tersebut ada pihak yang merasa untung karena harga belinya murah terutama pengusaha di level hilir. Namun, dia khawatir barang-barang tersebut tidak jelas kualitas dan standarnya.
“Amerika saja menaikkan [BMAD] 500%, kenapa kita takut. Kalau alasan nya kurang suplai di lokal itu kan bisa diatur, yang penting mereka menggunakan lokal dulu. Ini lokal saja belum terpenuhi kapasitasnya karena pasarnya diganggu, malah sudah impor, kapan industri bisa efisien,” katanya.
Amerika Serikat menaikkan tarif BMAD menjadi lima kali lipat untuk baja produk cold roll coil (CRC). Di Indonesia, CRC dimanfaatkan untuk pabrik seng, pipa, galvanis, sinalum, dan gavalum.
Pewarta: Romandhon