NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori menilai polemik mahalnya harga tiket pesawat pada akhir Tahun 2018 dan sampai awal Februari 2019 yang disampaikan oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, dan Direktur Utama Garuda Indonesia (selaku Ketua Umum INACA) dengan menuding mahalnya harga avtur yang dijual oleh BUMN Pertamina seharusnya telah berakhir dengan terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Avtur yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara.
Selain itu, lanjut Defiyan, pasca Direktur Utama Pertamina dipanggil Presiden ke istana negara pada Hari Kamis tanggal 14 Februari 2019 semestinya tidak ada lagi alasan yang membuar harga jual tiket pesawat menjadi mahal.
Baca Juga:
- Logika Harga Avtur Mahal Sebabkan Naiknya Harga Tiket Pesawat Dinilai Menyesatkan
- 3 Persoalan Krusial Terkait Tata Kelola Penjualan Avtur Dari Pertamina
- Mewaspadai Motif Kepentingan Korporasi Swasta Atas Tudingan Monopoli Avtur Pertamina
- Sri Mulyani Angkat Suara Terkait Besaran PPN Avtur
Menindaklajuti kebijakan itu, kata dia, pada Hari Sabtu tanggal 16 Februari 2019 Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah merevisi harga jual avtur eceran di dalam negeri dari Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter atau turun sejumlah Rp 250 per liter (3,4%).
“Secara logis tentu saja penurunan harga avtur ini serta merta diikuti pula oleh turunnya harga tiket maskapai penerbangan dalam negeri paling lambat per Maret 2019,” kata Defian, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
Namun faktanya, kata dia lagi, justru tiket pesawat yang dijual oleh maskapai dalam negeri, baik itu Garuda Indonesia, Batik Air, Lion Air maupun yang lain malah semakin mahal.
“Keluhan konsumen telah banyak disampaikan kepada Ekonom oleh para penumpang maskapai tersebut dan bisa dikonfirmasi juga kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),” tuturnya.
“Mahalnya tiket maskapai dalam negeri ini semakin tidak masuk akal apabila dibandingkan dengan harga tiket untuk rute negara-negara Asean yang jarak tempuh dan waktu perjalanannya tak jauh berbeda dengan rute antar Provinsi di Indonesia,” imbuh Defiyan.
Ia mencontohkan, harga tiket pesawat untuk tujuan Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Yangon (Myanmar yang dijual oleh maskapai asing berada dalam kisaran antara Rp 1,5 juta sampai dengan 3, 6 juta lebih. Sementara tiket yang dijual oleh maskapai dalam negeri seperti Garuda Indonesia berkisar antara Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta lebih. Harga tiket ini sama dengan rute penerbangan dari dan ke Jakarta-Padang, Jakarta-Manado, termasuk ke daerah timur Indonesia lainnya, kisarannya adalah Rp 4 juta-Rp 8 juta.
“Walaupun publik juga mengetahui bahwa sebenarnya harga jual avtur eceran Pertamina di dalam negeri sebelum keputusan penurunan Pemerintah ini masih lebih murah dibandingkan harga jual avtur eceran di Singapura, yaitu Rp 10.760 per liter atau selisih harga lebih mahal dari harga jual avtur eceran Pertamina sejumlah Rp 2.550,” ujarnya.
Atas permasalahan tersebut, mewakili aspirasi publik atau konsumen penumpang, maka Ekonom Konstitusi menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mencermati kenyataan masih mahalnya harga tiket beberapa maskapai, terutama Garuda Indonesia yang juga masih Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka dapat dipastikan bahwa BUMN Pertamina bukan penyebab mahalnya harga tiket karena menjual avtur terlalu mahal dan telah dibantah sendiri oleh Ketua Umum INACA yang juga merupakan Direktur Utama Garuda Indonesia.
2. Setelah adanya kebijakan Pemerintah merevisi harga jual eceran avtur, ternyata fakta mahalnya harga tiket maskapai dalam negeri, khususnya Garuda Indonesia tetap terjadi dan menjadi keluhan serta beban konsumen. Sinergi BUMN yang telah ditunjukkan oleh Pertamina ternyata tidak ditindaklanjuti oleh keprofesionalan manajemen maskapai penerbangan, terutama Garuda Indonesia untuk meringankan beban biaya pada penumpang tersebut. Oleh karena itu Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN harus mencari tahu akar permasalahan masih mahalnya harga tiket pesawat ini.
3. Patut diduga bahwa motif maskapai penerbangan dalam negeri, khususnya Garuda Indonesia yang tidak menurunkan harga tiket pesawat pasca turunnya harga jual eceran avtur adalah untuk mencari keuntungan (margin) yang sebesar-besarnya dengan membebankan semua biaya yang tidak efisien dan gambaran pekerjaan yang tidak efektif di dalam internal manajemen maskapai tersebut, keseluruhannya pada konsumen penumpang.
4. Sebagaimana perintah Presiden yang meminta untuk segera menurunkan harga tiket pesawat setelah maskapai dalam negeri, khususnya Garuda Indonesia memperoleh harga jual yang semakin murah, maka pihak Dewan Direksi Garuda Indonesia dapat disebut melakukan tindakan pengabaian perintah Kepala Negara.
5. Bahkan, sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya pasal 66 ayat 1, maka BUMN juga terikat pada fungsi Public Service Obligation (PSO) yang berarti lebih mengutamakan pelayanan kepentingan publik atau konsumen penumpang pesawat. Artinya, margin keuntungan yang bisa diambil oleh Garuda Indonesia tak membuat harga tiket semakin mahal.
6. Pihak maskapai penerbangan dalam negeri, melalui kewenangan Direksi Garuda Indonesia harus segera menjelaskan kepada publik permasalahan mahalnya harga tiket ini, lalu menurunkan harga jual tiket pesawat secara proporsional dan profesional sebagaimana semakin murahnya harga jual avtur eceran dari BUMN Pertamina agar mobilitas orang, barang dan jasa efektif menggerakkan perekonomian nasional serta tidak sampai menjadi isu dan permasalahan yang dapat mendiskreditkan Presiden, apalagi terjadi protes melalui demonstrasi yang politis menjelang Pemilihan Presiden.
7. Atas kasus ini, maka pihak manajemen maskapai dalam negeri, terutama Garuda Indomesia yang masih merupakan BUMN harus diaudit secara menyeluruh oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tim independen yang kompeten untuk melakukan investigasi agar menemukan variabel-variabel penyebab mahalnya harga tiket pesawat. (mys/nn).
Editor: Achmad S.