Politik

Fahri Hamzah Ungkap Akar Masalah Program KIS, Salah Satunya Dijadikan Alat Kampanye

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah memberikan penilaian tersendiri terhadap strategi kedua calon wakil presiden RI di bidang kesejahteraan rakyat yang disampaikan dalam debag cawapres, Minggu, 17 Maret 2019. Fahri membedahnya lantara isu tersebut merupakan isu keseharian dia sebagai wakil ketua DPR yang mangawasi koordinasi bidang kesejahteraan rakyat.

Fahri menyampaikan, jika mencarmati perjalanan debat cawapres, inti dari yang disampaikan cawapres 01 Kiai Ma’ruf Amin ialah meneruskan program Jokowi-JK yang secara normatif berkomitmen melakukan perbaikan. Sedangkan Cawapres 02 Sandiaga Uno lebih banyak menyampaikan terobosan-terobosan kebijakan dengan cukup detail.

Baca Juga:

“Nampak sekali mana gagasan yang konservatif mana yang progresif. Kiai Ma’ruf masih pakai senjata lama, #KartuTakSakti. Persis dengan apa yang dilakukan Jokowi dalam debat capres 5 tahun lalu. Sandi lebih menekankan pada komitmen target 200 hari selesaikan masalah kesejahteraan,” hemat Fahri dalam cuitannya di Twitter @Fahrihamzah, Senin (18/3/2019) dengan tagar #KartuTakSakti untuk pasangan 01 dan #KartuPamungkasEKTP pasangan 02.

Baca Juga:  Cuek Hasil Survei, Cagub Luluk Yakin Tembus Suara 55 Persen di Pilgub Jatim

Fahri menyebutkan contoh dari ‘kartu tak sakti’ seperti masalah BPJS. BPJS, kata dia, lahir di Era SBY melalui UU N0.24/2011, diimplementasikan 1 Januari 2014 (akhir pemerintahan SBY). “Dalam kampaye, oleh Jokowi kartu BPJS saat itu diganti dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Seolah program baru,” ujarnya.

“Jadilah seolah-olah KIS itu program hebatnya Jokowi. KIS jadi kartu sakti, dibagi-bagi waktu kampanye, jadi ladang elektabilitas. Padahal konsep dan implementasinya dilakukan pada masa SBY, pemerintah baru hanya melanjutkan. Apa akibatnya #KartuTakSakti vs #KartuPamungkasEKTP?,” tambahnya.

Menurut Fahri, dari awal pemerintahan program BPJS ini dijadikan alat popularitas. Maka pengelolaannya pun tampak tidak terlalu diperhatikan. Selama 4,5 tahun belakangan ini, sebut Fahri, pengelolaan BPJS amburadul. Tiap tahun defisit, kualitas pelayanan semakin menurun. “Jadilah kartu tak sakti,” tegasnya.

“Saya mendapat keluhan lapangan. Menerima audiensi dari berbagai pemangku kepentingan. Dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dokter Indonesia Bersatu (DIB), Perhimpunan Rumas Sakit (Persi), Perhimpunan Perawat, Apoteker dst. KIS benar-benar menjadi kartu tak sakti karena kampanye,” imbuhnya.

Fahri pun mengungkapkan akar dari masalahnya, pertama komitmen pemerintah Jokowi terhadap pendanaan program ini terbukti rendah. “Entah karena dananya tidak ada atau bagaimana, yang pasti problem keuangan ini terjadi selama 4,5 tahun. Banyak RS mengeluh karena klaim terlambat dibayar,” katanya.

Baca Juga:  LANAL Nunukan Berhasil Lepaskan Jaring Yang Melilit KM Kandhega Nusantara 6

Dia mengungkap pula bahwa terdapat tenaga kesehatan yang mengeluh karena bekerja dalam tekanan, tarif Ina-CBGs dibawah standar. Pasien banyak tak terlayani dengan baik. Dan akhir-akhir ini kualitas dan kuantitas pelayanan mulai dikurangi. “Ini akumulatif yang bikin KIS jadi kartu tak sakti,” ujarnya.

“Pemerintah tau kok, bahwa premi BPJS yang ditetapkan selama ini jauh dari nilai keekonomian. Premi yang seharusnya 36.000, hanya ditetapkan sebesar 23.000 (PBI 92,2 juta jiwa). Jika skenario premi naik (jadi 36.000) maka negara akan menambah subsidi sekitar 15 T tiap tahun,” katanya lagi.

Nilai tersebut, kata dia, hampir sama dengan defisit yang selama ini dialami BPJS. Menaikkan premi harus lewat Perpres, dan ini wewenang Jokowi. Tapi, lanjutnya, selama ini nyatanya Jokowi tidak berkomitmen menyelesaikan ini. “Niatnya memang kampanye dari awal. Tidak mau ambil keputusan,” tegasnya.

Lebih lanjut Fahri menyampaikan, apabila Prabowo-Sandi terpilih dan berkomitmen menyelesaikannya, tidak sampai menunggu 200 hari. “Begitu APBN awal dirancang, harusnya masalah defisit BPJS selesai. Tagihan rumah sakit cepat dibayar dan semua tenaga kesehatan fokus melayani masyarakat. Rakyat senang,” kata Fahri mengklaim.

Solusi Sandi, kata dia, lebih rasional ‘kartu pamungkas e-KTP’ dibanding hanya bagi-bagi kartu. “Langsung masuk jantung persoalan. Cetak kartu hanya menambah anggaran yang tak perlu. Kartu Pra Kerja kan konsep dan implementasinya sudah ada semenjak zaman Pak SBY,” ujarnya.

Baca Juga:  Fraksi Demokrat DPRD Nunukan Dorong Penguatan UMKM

Begitu pula dalam bidang pendidikan, sambungnya, tak perlu cetak kartu pintar untuk mahasiswa. Sampai saat ini program beasiswa bidik misinya SBY juga masih berjalan. “Dengan ‘Kartu Pamungkas e-KTP’ semua orang punya akses sama kepada subsidi, bukan yang dapat kartu doang,” katanya.

Fahri menegaskan untuk tidak mengulang kesalahan lama, seperti yang terjadi pada BPJS, fokus sama kartu tapi problem mendasarnya malah diabaikan, tidak selesai sampai akhir periode. Sekarang, bukannya menyelesaikan masalah pada ‘kartu tak sakti itu tapi malah menjanjikan karti baru.

“Jadi, sudah betul pak Sandi menyebut ‘KartuPamungkasEKTP’ sebab pada dasarnya KTP dengan konsep SIN (single identity number) adalah jaminan bagi seluruh warga negara atas hak-hak mereka yang melekat; mulai hak pilih, hak kerja, kesehatan, pendidikan, dll. Cukup satu kartu!” tandas Fahri. (mys/nn)

Simak:

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,170