NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar ekonomi Ichsanuddin Noorsy pada kesempatan diskusi bertajuk Membedah Isu-Isu Strategis Pada Debat Capres/Cawapres Demi Kemajuan Bangsa, pada 26 Februari 2019 lalu di kawasan Cikini, Jakarta Pusat mengungkap sejumlah indikator upaya pemecahbelahan Indonesia. Ironisnya indikasi itu justru dilakukan oleh para pemimpin bangsa sendiri.
Baca Juga:
Pakar Ekonomi Ajukan Pertanyaan Besar Ihwal Kondisi Indonesia Sejak Ahok Maju Sebagai Cagub DKI Jakarta
Gagal Berdikari Ekonomi, Pakar Ekonomi: Nawacita Tak Selesaikan Masalah
Berikut catatan kritis Ichsanuddin Noorsy terkait sejumlah indikator Indonesia dalam bayang-bayang perbecahan, sebagaimana dikutip dari hasil notulansi diskusi oleh Rachmad Sofian:
Sejak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta lanjut maju sebagai calon gubernur (cagub) pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dirasakan sangat kental aroma emosional masyarakat Jakarta kala itu. Pertanyaannya apakah para pemimpin bangsa itu sedang mengutuhkan persatuan atau justru sebaliknya memecah-belah? Pertarungan Ahok sebagai cagub DKI Jakarta, terdapat 17 media asing memposisikan pertarungan DKI Jakarta sebagai Islam melawan Kristen. Inilah salah satu indikator pertama terkait adanya upaya pemecah-belah masyarakat.
Indikator kedua, pada Peraturan Presiden 22/2015 terdapat 3 (tiga) permasalahan bangsa, salah satunya kalimatnya adalah berkembangnya sikap intoleransi dan krisis kepribadian bangsa di sebagian masyarakat. Pertanyaannya, siapa yang intoleran? Hal ini tidak memiliki alasan rasional dan mengada-ada. Selama ini, sejak era Soekarno hingga sekarang, sikap toleransi itu tumbuh berkembang secara baik.
Menurut data Bank Dunia dimana menempatkan Indonesia memiliki tingkat kemajemukan kita 68%. Artinya nilai yang cukup tinggi. Ketika tingkat kemajemukannya tinggi, sesungguhnya model politik yang dibangun Soeharto kemudian masuk masa reformasi, konflik antar suku boleh dibilang tidak setajam sekarang. Maka pertanyaan yang keduanya adalah, apakah pemimpin yang tampil hari ini memecahkan masalah atau justru bikin masalah? Jika kita menggunakan pikiran sehat, maka relasinya adalah antara variabel konsep-konsep itu harus punya indicator dan harus punya alat ukur, jika tidak maka akan kelihatan apakah gagal, berhasil atau menyimpang?
Persoalan ketiga adalah soal revolusi mental. Apa sesungguhnya esensi dari revolusi mental? Kita tidak memiliki teori tentang revolusi mental itu apa? Dalam beberapa literatur yang ada, bahwasanya revolusi mental yang dimaksud itu ternyata suatu keinginan untuk membangun sikap masyarakat tanpa dihambat oleh masalah agama dalam mencapai kesejahteraan. Dalam bahasa yang sederhana, agama dianggap sebagai penghambat kemodernan. Refleksi kampanye-kampanye Jokowi pada tahun 2014 lalu. Terdapai survei yang dilakukan oleh Eep Syaifullah Fatah dijadikan langkah untuk mengungkap masalah tersebut.
Ketika survei Eep muncul, itu akan kelihatan sesungguhnya kenapa kemudian saya bikin buku ‘Bangsa Terbelah’. Saya ambil indikatornya. Saya ambil konsepnya. Nanti akan ketemu persoalan persoalan ekonomi, kemudian menjadi senjata makan tuan. Ketika pertanyaan itu sudah dijawab, ternyata semua posisinya negatif. Maka pertanyaan besarnya, apakah kampanye di 2019 sekarang ini menjawab yang negatif, atau kemudian melanjutkan tren tersebut?
Indonesia harus berdaulat di segala strata lini berbangsa dan bernegara, berdaulat secara politik, berkepribadian dalam kebudayaan, mandiri dan ekonomi. Salah satu poin penting dalam visi-misi Nawacita Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla yang termuat di dalam agenda Trisakti 2014 silam adalah Mandiri atau Berdikari Ekonomi. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan, janji untuk mewujudkan kemandirian ekonomi atau berdikari ekonomi nyatanya gagal. Terdapat sejumlah indikator kuat sebagi bukti kegagalan tersebut yakni dalam konteks berdikari ekonomi, maka ada 5 prinsip penting yang disebutnya 5 F yakni Food (pangan), Fuel (bahan bakar/energi), Financial (keuangan), Forces of Law-Forces of Army (kekuatan hukum dan kekuatan militer), dan Frekuensi.
Kelima-limanya ini bisa dijadikan tolak ukur sekaligus sebagai indikator dalam membaca gagal tidaknya sebuah kemandirian ekonomi suatu negara. Terbukti Food (pangan) sebagai bahan pokok makanan kita sudah jelas impor, kemudian Fuel (bahan bakar atau energi). Terbukti Indonesia telah mengimpor Fuel mencapai 1,3 juta barel. Sektor Financial (keuangan), sejak tahun 2015 Jokowi mengatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia akan meroket. Prediksi kenaikan 7% akan tercapai adalah mustahil, dan hal tersebut sulit untuk terwujud ketika pertarungan antara Yahudi dan Cina tidak akan berakhir.
Terbukti angka perekononian hanya berkisar plus minus 5 % hingga 5,2%. Kenapa Presiden Direksi BCA protes kepada pemerintah karena ketatnya likuidasi? Hal ini dikarenakan terjadinya persaingan tidak sehat antar bank. Bank Indonesia (BI) rate, imbal hasil dan suku bunga deposito tidak berimbang. Dalam duania keuangan indicator imbal hasil untuk 10 tahun 7,935 %, ini lebih besar atau lebih kecil dari BI Rate yang hanya 6 %, dan deposito pasti di bawah 6%. Hal ini disebabkan karena pemerintah secara jor-joran menerbitkan surat hutang. Dampaknya resiko pasar naik, akibatnya suku bunga dan nilai tukar rupiah pasti terkena.
Bayangkan untuk biaya operasi terbuka BI saja di tahun 2015 sekitar 200 triliyunan, Tahun 2016 sekitar 282 triliyunan, tahun 2017 sekitar 312 triliyunan, tahun 2018 sekitar 347 triliunan dan tahun 2019 sekitar 193 triliyunan. Motifnya adalah korbankan rakyat dengan dampak barang mahal, harga naik, tidak bisa kendalikan nilai tukar. Ini menunjukkan ada problem yakni biaya yang dikeluarkan untuk stabilitas nilai tukar terus mengalami peningkatan yang menjadi kata kunci kegagalan ekonomi. Potret kondisi ekonomi Indonesia ini tak nampak dalam debat capres/cawapres yang lalu, tak nampak kampanye dari kedua belah pihak serta tak menyentuh hal ini, padahal stabilas harga menjadi kata kunci dalam ketahanan ekonomi.
Kemudian Forces of Law atau penegakan hukum dan Forces of Army atau kekuatan militer. Forces of Law nampak secara terbuka terjadi fenomena tumpul ke atas, tajam ke bawah mendorong terjadinya situasi cidera atas rasa keadilan. Itu berarti ada tindakan yang tidak benar yang memungkinkan munculnya penerapan sikap intoleran, sehingga dari sisi Forces of Law, ada gambaran ketidakbenaran.
Dan ketidakbenaran itulah yang kemudian melahirkan situasi berupa gangguan rasa keadilan. Sementara itu mengenai Forces of Army, seperti misalnya dalam konteks Laut Cina Selatan, Indonesia saat ini tidak berdaya. Begitu pula dalam konteks penguasaan udara, Indonesia juga tidak berdaya. Bahkan dalam konteks selat Makasar sampai dengan Papua pun, negara Indonesia disebutnya juga disebutnya tidak berdaya.
Terakhir untuk indikatornya yakni Frekuensi, dalam persepektif ini Indonesia juga lemah dan terjadi pertarungan yang cukup seru pada domain ini. Ketika kita bicara prekunsi di udara atau yang ada di aplikasi, semua adalah sama. Kita sadari bahwa di darat saat ini semua telepeon genggam yang kita pakai sesungguhnya frekuensinya sudah dikuasai oleh luar. Terbukti, saat ini pemilik frekuensi yang dimiliki asing tengah bertarung melawan Telkomsel ini sungguh menarik. Ketika Prabowo menyatakan bahwa kedaulatan swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, sesungguhnya kondisi eksisting Indonesia saat ini seperti apa yang diungkapkan Prabowo. Kemudian soal penegakan hukum, maka kelihatan bahwa Nawacita dan Trisakti tidak menyelesaikan masalah, banyak yang tak terselesaikan dengan baik. (*)
Editor: Romandhon