Politik

Pakar Ekonomi Ajukan Pertanyaan Besar Ihwal Kondisi Indonesia Sejak Ahok Maju Sebagai Cagub DKI Jakarta

Diskusi bertajuk Membedah Isu Strategis pada Debat Capres-Cawapres Demi Kemajuan Bangsa di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/2/2019). (Foto:
Diskusi bertajuk Membedah Isu Strategis pada Debat Capres-Cawapres Demi Kemajuan Bangsa di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/2/2019). (Foto:

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengajukan pertanyaan besar sejak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi gubernur lalu kemudian maju sebagai calon gubernur (cagub) pada Pilgub DKI Jakarta berikutnya meski kalah pada akhirnya. Apakah para pemimpin bangsa itu sedang mengutuhkan persatuan atau justru sebaliknya memecah-belah?

“Saya dapat jawaban, karena saya juga ikut periksa, karena itu saya dapat jawaban,” kata Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/2/2019).

Dia menjelaskan, sejak majunya Ahok sebagai cagub DKI Jakarta, ada 17 media asing memposisikan pertarungan DKI Jakarta sebagai Islam melawan Kristen. Menurutnya itu salah satu indikator pertama terkait adanya upaya pemecah-belah masyarakat.

“Indikator kedua, ini saya buka, Perpres 22/2015 permasalahan bangsa. Ini saya buka. Ada tiga masalah bangsa,” ujarnya.

Salah satu kalimatnya adalah berkembangnya sikap intoleransi dan krisis kepribadian bangsa di sebagian masyarakat. Pertanyaannya, siapa yang intoleran? Menurutnya, itu mengada-ada.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

“Kenapa dia bisa dirumuskan dalam Perpres 22/2015 sebagai sebuah sikap intoleran,” sambung Noorsy.

Selama ini, kata dia, sejak era Soekarno hingga sekarang, sikap toleransi itu tumbuh berkembang secara baik.

“Anda bisa bantah, tapi saya akan gunakan data Bank Dunia. Bank Dunia menyatakan tingkat kemajemukan kita 68%. Tinggi artinya,” jelasnya.

Ketika tingkat kemajemukannya tinggi, maka pertanyaannya kenapa sesungguhnya sejak yang namanya model politik yang dibangun Soeharto kemudian masuk masa reformasi, konflik antar suku boleh dibilang tidak setajam sekarang?

Maka pertanyaan yang keduanya adalah, apakah pemimpin yang tampil hari ini memecahkan masalah atau justru bikin masalah?

“Sebentar, sebentar, saya ingin mengatakan begini, pikiran kita sehat. Saya nggak bilang akal sehat, pikiran kita,” ucapnya.

“Kalau pikiran kita sehat maka relasinya adalah antara variabel konsep-konsep itu harus punya indikator. Harus punya alat ukur,” jelasnya.

Dari situ, lanjut dia, maka akan kelihatan apakah gagal, berhasil atau menyimpang? “Jadi kita sudah punya dua jawaban,” imbuhnya.

Baca Juga:  WaKil Bupati Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Tahun 2024 Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Persoalan ketiga adalah soal revolusi mental. Apa sesungguhnya esensi dari revolusi mental?

“Kita nggak punya yang namanya teori tentang revolusi mental itu apa? Kita nggak punya posisi itu,” ungkap Noorsy.

Dalam studi yang ia lakukan, revolusi mental yang dimaksud itu ternyata suatu keinginan untuk membangun sikap, bagaimana masyarakat tanpa dihambat oleh masalah agama dalam mencapai kesejahteraan.

“Dalam bahasa yang sederhana, agama dianggap sebagai penghambat kemodernan,” tegasnya.

Kata dia, boleh dibuka kampanye-kampanye Jokowi 2014 lalu. Menurut Noorsy, survei yang dilakukan oleh Eep Syaifullah Fatah dijadikan langkah untuk mengungkap masalah tersebut.

“Ketika survei Eep muncul, itu akan kelihatan sesungguhnya kenapa kemudian saya bikin buku Bangsa Terbelah. Saya ambil indikatornya. Saya ambil konsepnya. Nanti akan ketemu persoalan persoalan ekonomi, kemudian menjadi senjata makan tuan,” jelasnya.

Ketika pertanyaan itu sudah dijawab, lanjut Noorsy, ternyata semua posisinya negatif. Maka pertanyaan besarnya, apakah kampanye di 2019 sekarang ini menjawab yang negatif, atau kemudian melanjutkan tren tersebut?

Baca Juga:  Wis Wayahe Jadi Bupati, Relawan Sahabat Alfian Dukung Gus Fawait di Pilkada Jember

Pewarta: Romadhon
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,097