PERAN Sejarah Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. Ketika media dan pemberitaan nasional diliputi peristiwa bencana banjir di Aceh, longsor di daerah Sukabumi dan dampak gelombang tsunami di Banten dan Lampung, muncul polemik ditundanya pelantikan Kepala BNPB yang baru Letnan Jenderal TNI Doni Monardo. Banyak spekulasi bemunculan. Dari mulai mal-adminstrasi peraturan hingga politisasi kepentingan elit politik.
Belum usai, masih ditambah berita terkait anggaran BNPB yang minim sekitar Rp 600 miliar, yang dianggap sebagai pengamat tidak mencerminkan penanganan bencana secara nasional. Akhirnya, Menkeu Sri Mulyani angkat bicara. Bahwa anggaran penanganan bencana itu on call sebesar Rp 7 triliun.
Baca juga: Prosperity Approach Kodam Pattimura Sukses Damaikan Maluku
Menurut pendapat penulis, bukan jabatan Kepala BNPB yang dikejar Letjen Doni Monardo. Kita kerja saja. Tak usah pusing urusan politik, kata Letjen Doni. Baginya, dimutasi (disingkirkan atau dibuang) sebagai apapun dan di mana pun, sekalipun tempat jin buang anak adalah amanah dan berkah. Sang Jenderal Bintang Tiga lebih yakin suratan takdir yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuz dibanding SKEP apapun.
Tugas dan jabatan apapun adalah amanah. Pun demikian ketika ‘dibuang’ menjadi Pangdam Pattimura. Bagi kalangan pengamat militer, jabatan Pangdam Jaya seharusnya pantas disandang Doni dibanding Pangdam Pattimura. Atau jabatan Pangkostrad lebih bergengsi dibanding Pangdam Siliwangi atau Sekjen Wantannas.
Tapi bagi Doni, selain amanah bahwa jabatan itu adalah peran sejarah. Sehingga harus dilaksanakan dengan prinsip keseimbangan: hablumminallah, hablumminnannaas dan hablumminal ‘alam dilakukan sebaik-baiknya dengan niat, tujuan, ikhtiar dan kerjasama yang terbaik.
Kalaupun Kepala BNPB yang baru tersebut nantinya diserahkan ke malaikat Israfil atau Israil sekalipun, bukan merupakan persoalan besar. Letjen Doni Monardo tetap berbuat untuk alam ini. Bukan merusak atau sekadar bertindak setelah ada bencana. Namun, Doni berani menantang paradigma dan perilaku mainstream seorang perwira tinggi militer atau pejabat negara; turun dan berada di tengah rakyat, prajurit dan alam semesta.
Bagi pemilik dan pengasuh Pondok Pesantren terbesar di Bondowoso, Doni Monardo adalah tentara kiai. Bagi mantan aktivis dan pengamat sosial dan politik Abdur Rozaki, Letnan Jenderal Doni Monardo adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman di era kontemporer.
Ketika menjadi Pangdam Pattimura, dia terjun langsung turun membajak sawah di Maluku saat Kementerian Pertanian dan TNI mengadakan program cetak sawah untuk mewujudkan swasembada beras. Dia merangkul pihak yang berkonflik dan berperang yakni Komandan Panglima Laskar Jihad Ustadz Jummu, Sekjen RMS Moses dan Pendeta John. Para pihak yang berkonflik dalam kerusuhan Ambon.
Baca juga: Hidupkan Lahan Mati, Program ‘Emas Hijau’ Sukses Dongkrak Hasil Petani Maluku
Baca juga: Program Emas Biru Pangdam XVI/Pattimura Antarkan Anak Slamta Kuliah di Fakultas Kedokteran
Baca juga: Gubernur Maluku Akui Kehebatan Program Emas Biru dan Emas Hijau
Letnan Jenderal Doni mendatangi dan tidur di tengah-tengah rakyat dan daerah konflik ketika pecah konflik Morela-Mamala di Ambon. Dia juga turun melakukan pemberdayaan masyarakat bersama prajurit TNI membuat Keramba Jaring Apung yang amat sangat berdampak positif bagi rakyat Maluku.
Selain itu, Letjen Doni juga terjun langsung dalam pemberantasan illegal mining yang telah menghancurkan ekosistem Gunung Botak dan Teluk Ambon. Kemudian dia terjun langsung membibitkan pohon buah dan keras dalam polibag-polibag untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung buah nasional. Sang Letnan Jenderal bersama jajaran Kodam tokoh dan akademisi bersama-sama membangun dan mengangkat kesejahteraan masyarakat Maluku dan Maluku Utara. Tidak ada agenda terselubung atau pencitraan dan cari panggung terhadap apa yang dilakukannya sebagai Pangdam Pattimura. Bahkan hingga Presiden Jokowi, para akademisi dan universitas dari negara lain serta atase pertahananan dari berbagai negara dan semua tokoh Ambon pun mengapresiasi apa yang dilakukan ayah dari 3 orang anak dan satu orang cucu tersebut.
Tidak membuat besar kepala tapi menambah besar semangatnya untuk berbuat lebih luas dan berkesinambungan. Apakah yang dilakukan oleh Letjen Doni tersebut menggunakan anggaran yang besar? Jawabannya, tidak. Program Emas Biru, Emas Hijau dan Emas Putih yang dirancang dan dikerjakannya menggunakan strategi Penta Helix dan dengan anggaran yang sangat minim, patungan dari para pihak yang terlibat dan simpati di Ambon bahkan sampai menggunakan dana pribadinya.
Doa tidak hanya menjadi Fuhrer (Ayah) bagi para prajuritnya dan rakyat Ambon tetapi bisa menjadi solidarity maker bagi seluruh stakeholders di Maluku dan Maluku Utara. Letjen Doni bisa menciptakan common enemy (ketidakadilan dan kemiskinan) yang memantik sinergitas semua pihak yang berada di Ambon maupun yang berada di luar Ambon.
Letjen Doni adalah orang Minang yang berpikir jernih, berhati bersih dan bertindak bijaksana, nyata dan cepat untuk rakyat Ambon. Pun demikian ketika diputar-putar oleh Gatot Nurmantyo sebagai Pangdam Siliwangi di saat namanya digadang-gadang menjadi Pangkostrad. Malah jadi amanah dan Berkah. Sekitar situs Cisanti yang merupakan titik nol kilometer Sungai Citarum, Jawa Barat yang semula kawasan hutan namun berubah menjadi lahan pertanian sayuran.
Melihat adanya ancaman potensi bencana alam membuat dia turun langsung berdialog dengan masyarakat untuk mengubah paradigma mereka dan kebiasaan membabat hutan. Secara damai, lahan pertanian tersebut perlahan menjadi kawasan hutan kembali dengan penanaman pohon atau tanaman yang bernilai guna tinggi dan sekaligus menguatkan akar dan tanah.
Letjen Doni turun ke Sungai Citarum yang dipenuhi lautan sampah dan limbah baim yang amat padat, cair dan beracun serta berbahaya. Lahirlah program Citarum Harum yang berhasil merubah paradigma dan kebiasaan masyarakat di sepanjang Sungai Citarum. Tidak hanya unsur TNI saja yang terlibat tapi seluruh tokoh masyarakat, perguruan tinggi dan pegiat lingkungan serta masyarakat umum. Semua dilakukan dengan anggaran yang minim dan terlibatnya seluruh komponen masyarakat Jawa Barat secara ikhlas dan konsisten.
Oleh karena itu, jika Tuhan mengutus manusia bernama Doni Monardo menjadi Kepala BNPB, diharapkan agar semua pihak dan yang memiliki kepentingan tidak terus berpolemik. Tapi, mari masing-masing pihak yang berpolemik menyumbang pikiran, peran dan program secara nyata untuk lebih mencintai alam sekitar kita sehingga bisa mencegah bencana alam yang diakibatkan oleh ulah manusia. Jadikan Doni sebagai tokoh atau alat pemersatu. Dan jadikan perilaku merusak alam menjadi musuh bersama. Karena yang diharapkan oleh Letjen Doni adalah peran sejarah secara bersama, bukan tepuk tangan atau jabatan.
Oleh: Tedy Novan, Bromo Berbhakti Institute